11

38 4 0
                                    

Halo, karena algoritma semakin mengubur story aku, boleh ya sebelum baca kasih vote dulu. All comments are truly appreciated dan aku usahakan bisa balas semuanya. Selamat membaca.

〰️〰️💠💠💠〰️〰️

"Seokjin, kamu ditunggu Pak Namjoon di ruangan."

"Hah? Gue? Ada apa ya?"

"Ga tau. Lu mau dipindahin lagi kali ke divisi lain?"

"Heh?"

Seokjin langsung tergopoh ke ruangan di lantai yang berbeda dengan lantai tempat tim produksi berada. Ia bukan bersemangat ingin bertemu Namjoon. Ia yakin panggilan ini ada hubungannya dengan pengajuannya untuk pindah ke cabang Australia.

Entah kenapa ia merasa gamang. Urusan beginian harusnya dipegang oleh HRD. Kenapa pemilik perusahaan sampai harus ikut-ikutan?

Atau jangan-jangan?

Seokjin menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin Namjoon mau melakukan pendekatan lagi. Sejak pertengkaran bersama Seoho, Namjoon seperti kehilangan minat pada dirinya.

"Silakan masuk. Pak Namjoon sudah menunggu Anda." Sekretaris Namjoon langsung mempersilakan Seokjin menuju ke sebuah pintu kayu besar yang terlihat mewah.

Seokjin terdiam sesaat. Namjoon punya sekretaris baru. Sekretaris yang dulu sudah mengetahui hubungan rahasia Seokjin dan Namjoon, dan tidak pernah bersusah payah menyapanya kalau ia datang ke ruangan Namjoon.

Perasaan Seokjin sedikit aneh menyadari kalau segalanya kini antara ia dan Namjoon tidak lebih dari hubungan profesional bawahan dan atasan.

Dan saat pintu besar itu terbuka, Matanya langsung bertemu dengan Namjoon yang tersenyum lebar menampilkan lesung pipi dalam. "KimSeokjin. Silakan masuk."

Ia menunggu Seokjin duduk di set sofa, lalu ia duduk di hadapannya. Tidak lama, sekretarisnya datang mengantar dua gelas kopi. Minuman Seokjin dikemas dalam gelas plastik takeout. Seokjin melirik minuman Namjoon, cappucino dalam cangkir keramik.

Ia menegakkan duduknya. Itu artinya pembicaraan ini tidak akan berlangsung lama. Mungkin malah sangat singkat sampai segelas kopi saja tidak sempat dihabiskan.

"Kita langsung ke alasan kenapa saya panggil kamu kemari ya, Seokjin." Namjoon memutar-mutar jam tangan mahalnya sebelum menyesap kopinya. "Karena kamu juga pasti nggak nyaman berlama-lama berdua saja sama saya kan."

Seokjin tersenyum kecil. Namjoon, dan ruangan ini. Keduanya membuatnya tidak nyaman mengingat banyaknya rendezvous mereka di masa lalu.

"Kamu masih pacaran sama si mantan anak magang?"

"Seo...masih." Rahang Seokjin menegang. Namjoon yang bilang mau cepat-cepat, Namjoon juga yang basa-basi.

"Setelah perlakuan dia sama kamu?"

"Semua orang pernah emosional. Masalahnya sudah clear. Kami tinggal bersama sekarang." Dada Seokjin berdebar. Info ini, mungkin terlalu personal buat Namjoon.

"Benarkah? Congratulations then." Namjoon tersenyum lebar. Sikapnya terlihat tulus. Tapi lalu senyum miring licik naik di wajahnya. "Jadi, kamu pasti sudah tahu kalau dia ditunjuk sebagai pengganti ayahnya di agency keluarganya kan?"

Seokjin mengangguk. Sesungguhnya ia tidak tahu banyak, tapi ia tidak ingin Namjoon tahu.

"Kamu jangan berpikir kamu ini sangat istimewa sampai saya cari tahu sana-sini soal anak ingusan itu ya." Suara Namjoon mendadak dingin. "Biar kami saingan bisnis, tapi kami berada dalam circle yang sama. Dan Ayahnya itu selalu bilang kalau ia ingin pensiun dini dan menyerahkan perusahaan pada anak laki-lakinya setelah anaknya itu lulus master degree."

Takeaway Days [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora