Chapter 7: Memilah Jejak Kehidupan

21 12 2
                                    

Tiga hari berlalu sejak sidang perdana perceraian digelar. Braga dan Vera meninggalkan ruang sidang dengan perasaan yang terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Dian yang menyusul kakaknya dari belakang merasakan atmosfer yang tegang di antara keduanya. Meskipun ia mencoba untuk tampak biasa, namun tatapan kosong Braga dan kilatan air mata Vera telah menggambarkan betapa beratnya langkah ini.

Di parkiran mobil, atmosfer hening terasa semakin membebani. Vera menatap Braga, sementara Dian dan Aryanto masuk ke dalam mobil dengan penuh ketidakpastian. Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Braga melaju menjauh dari pandangan Vera, meninggalkannya dengan hati yang terkoyak.

Dalam perjalanan menuju rumah makan khas Padang favorit Braga, Aryanto mencoba membahas tahapan selanjutnya dari proses perceraian. Braga hanya mengangguk, tetapi keheningan terus menyelimuti suasana.

Setelah duduk di meja yang telah dipesan, Braga mulai melahap makanan dengan seakan-akan mencari pelarian dari kenyataan yang sulit dihadapinya. Aryanto, yang sudah lama mengenali sahabatnya, memilih membicarakan secara langsung.

"Apa yang kita lakukan selanjutnya, Ga?" tanya Aryanto, mencoba membuka percakapan.

Braga menoleh padanya, "Gua nggak tau, To. Semuanya begitu rumit."

Dian yang merasa atmosfer semakin tegang, memutuskan untuk membuka suara, "Sebenarnya, Ga, dari dulu gua udah merasa kalau kalian berdua nggak cocok. Tapi gua tau kalo lu sudah buat dinasehatin. Bapak aja pas masih idup dulu, suka nyerah buat ngomongin lu."

Braga menundukkan kepala, dan Dian melanjutkan, "Itu sebabnya gua nggak pernah ngomong apa-apa. Tapi melihat sekarang, mungkin memang ini yang terbaik."

Sejenak, suasana menjadi hening. Dian merasa bersalah atas ucapannya, dan Braga tampak merenung, mencerna kata-kata adiknya. Namun, Aryanto mencoba mengalihkan perhatian.

"Kita harus fokus pada proses ini, Braga. Pastikan hak-hakmu terlindungi," kata Aryanto, mencoba memberikan arah pada pembicaraan.

Braga mengangguk, "Aku tahu, Aryanto. Terima kasih atas semua bantuanmu."

"Aku selalu ada untukmu, Braga. Dan kita akan menangani ini bersama-sama," janji Aryanto, mencoba memberikan semangat.

Braga tersenyum tipis, "Aku beruntung memiliki sahabat seperti kalian."

Namun, di balik senyumnya, Braga merenungi perjalanan rumit yang harus dihadapinya. Ini bukan hanya akhir dari hubungannya dengan Vera, tetapi juga awal dari babak baru yang penuh ketidakpastian.

***

Anan bersama neneknya, Ibu Siti, berjalan santai di sekitar komplek perumahan. Sorotan kebahagiaan terpancar dari wajah Anan, yang senang bisa menghabiskan waktu bersama neneknya. Ibu Siti tetap memperhatikan anak cucunya dengan penuh kehati-hatian, menjaga agar Anan tidak terjatuh atau terkena kendaraan.

Setelah puas berkeliling, mereka kembali ke rumah. Ibu Siti dengan senang hati memasak makanan untuk Anan, sementara Anan duduk di lantai dapur, sibuk dengan mainan robotnya.

Secara tiba-tiba, kepolosan Anan terpancar lewat pertanyaan yang mengejutkan. "Nek," ucap Anan dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. "Kenapa Papa sama Mama pisah?"

Ibu Siti, yang tengah sibuk memasak, terkejut mendengar pertanyaan tak terduga itu. Ia meletakkan sutil dan mendekati Anan dengan senyuman hangat. "Anan, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" katanya sambil duduk di dekat cucunya.

Anan mengangguk, tatapan matanya penuh keingintahuan. "Anan bingung, Nek. Papa sama Mama kan selalu senang kalo bareng-bareng."

Ibu Siti mengelus lembut kepala Anan. "Iya, Anan, Nenek juga tahu kalian selalu bahagia bersama. Tapi, kadang orang dewasa punya masalah yang sulit diatasi. Dan kadang, untuk menyelesaikannya, mereka perlu waktu sendiri."

Anan mengernyit, mencoba memahami. "Jadi, Papa sama Mama perlu waktu sendiri?"

Ibu Siti tersenyum, "Iya, Sayang. Tapi bukan berarti mereka nggak sayang sama Anan. Papa sama Mama pasti tetap sayang sama Anan, cuma cara mereka mencintai Anan mungkin akan sedikit berubah."

Anan menatap neneknya dengan raut wajah yang penuh pertanyaan. "Trus, Anan bakal tinggal sama siapa, Nek?"

Ibu Siti menggendong Anan, "Anan akan tinggal bersama Nenek dulu, ya? Papa sama Mama masih menyayangi Anan, tapi mereka akan tinggal di tempat yang berbeda."

Anan termenung sejenak, lalu bertanya lagi, "Anan masih bisa main sama Papa dan Mama kan, Nek?"

Ibu Siti mengusap lembut kepala Anan. "Tentu, Sayang. Meski di tempat yang berbeda, tapi mereka pasti masih ingin bermain dan berkumpul bersama Anan. Jadi, Anan nggak perlu khawatir."

Anan tersenyum kecil, namun tetap penasaran, "Tapi kenapa harus pisah, Nek?"

Ibu Siti mencoba menjelaskan dengan penuh kelembutan, "Kadang orang dewasa punya masalah yang nggak bisa diselesaikan bersama, Nak. Dan meski sulit, kadang perpisahan menjadi jalan satu-satunya untuk membuat mereka bahagia."

Anan mengangguk mengerti, namun matanya masih mencerminkan kekhawatiran. Ibu Siti mengecup kening Anan, "Tapi yang pasti, Nenek selalu di sini untuk Anan. Kita akan hadapi semuanya dengan baik-baik aja, ya."

Anan memeluk neneknya erat, mencari kenyamanan dan kehangatan dalam pelukan neneknya. Meskipun masih kecil, Anan mulai belajar bahwa hidup kadang membawa perubahan, dan keluarga tetap menjadi tempat di mana cinta dan dukungan tak berubah.

To be continued

Selamat tahun baru 2024🥳
Udah 3x ae gue ngucapin :v
Canda ya ges ya✌🤣

Btw ada yg masih betah baca cerita gue?
Komen ya.

Lintasan Hati yang Tak TerdugaWhere stories live. Discover now