BLC | CH-22

9.8K 1.2K 65
                                    

Lava benar-benar menyukai perannya menjadi seorang Dokter. Dokter gadungan.

Setelah Mavel dan Miki pulang dan berganti pakaian, Lava langsung menarik kedua kakaknya untuk bergabung menjadi pasien.

Jadi, sekarang Dokter Lava sedang menangani ketiga pasien bongsornya yang terbaring berjajar seperti ikan pindang dalam wajan.

Lava duduk diatas perut Mavel sembari memeriksa detak jantung pasien tertuanya.

Dahi Lava berkerut heran. "Maaf pasien Mavel, tapi kok jantungnya udah nggak beldetak, ya?"

"Nggak tau dokter, paling dokternya aja yang gadungan," Jawab Mavel dengan mata terpejam. Itu perintah Lava, semua pasiennya harus memejamkan kedua matanya.

"Ah males. Pasien Mavel udah mati," Ucapnya sembari berpindah, duduk diperut Miki. "Pasien Miki, dimana doktel Lava halus suntik?"

"Dipantat," Jawab Miki asal.

Lava bergegas mengambil suntikan mainan berwarna kuning miliknya. "Oke, tapi kalna pantat pasien Miki nggak estetik, Lava mau suntik dibulungnya-,"

"Heh!" Si pasien langsung membuka matanya lebar. Enak saja. Ini aset istrinya kelak, tak sembarang orang yang boleh menyentuhnya.

"Omaygat! Pasien Miki sekalat!" Lava berteriak heboh sembari menggesekkan kedua telapak kecilnya. "Enggak sakit pasien Miki, tenang, Lava akan membantu pasien Miki menjemput ajal."

Kedua telapak kecil itu mulai menyentuh dada Miki. Dahi Lava berkerut heran, ia kembali menggesekkan kedua telapak tangannya dan menempelkan didada Miki. Kenapa Miki hanya diam saja?

Bedecak kesal. "Ih! Halusnya pasien Miki sepelti ini," Menyontohkan seperti Marel tadi. "Pasien Miki ini tidak peka, Lava suntik mati saja," Lava mengambil suntikan, lalu menyuntik Miki dibagian mata.

Miki langsung berakting seperti orang keracunan dan berakhir terkulai lemas.

Dua pasien sudah mati ditangan Lava. Kini, Lava beralih ke pasien terakhirnya, pasien favoritnya.

"Pasien Malel, keluhannya apa?"

Dengan mata terpejam, Marel menjawab. "Nggak punya uang, pak."

"Belalti, pusing dong?" Raut wajahnya terlihat serius, menekan stetoskop plastik itu didahi Marel. "Halus dikasih obat ini. Obat diale."

"Waduh ... Seneng ya, main sama Abang?" Medina datang dari arah dapur sembari membawa sepiring roti kelapa. Wanita itu mendudukkan dirinya disofa, tersenyum melihat putranya akur dan bermain bersama.

Meskipun ketiga putra tertuanya sedikit tertekan.

Lava menyengir kearah Mama. "Lava nggak nggak jadi mau jadi damkal."

"Oh ya? Mau jadi apa sekarang?"

"Mau jadi doktel, mau suntik Abang."

Si ibu terkekeh. Waktu itu, katanya mau jadi Jeno NCT, lalu damkar, dan sekarang ingin menjadi dokter. Besok-besok pasti akan berganti lagi.

Bangkit dari duduknya. "Sekalang Lava peliksa pasien Mama," Dengan gerak langkah mendekati Medina. Kemudian duduk dipangkuan sang ibu.

Medina menahan punggung Lava, membiarkan stetoskop pink itu menempel didagunya. Kenapa didagu?

Bukan Lava Cake [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang