BLC | CH-07

9.6K 1K 23
                                    

Banyak perdebatan dan penolakan perihal siapa yang akan mengantar Lava ke sekolah. Jelas ketiga kakak dan papa menolak. Mereka seperti enggan? Atau malah mereka memang tidak menyukai kehadiran Lava ditengah-tengah keluarga ini.

Lagi-lagi perlakuan mereka membuat Lava merasa sedih.

"Kenapa semua olang nggak suka sama Lava?"

Ditengah fokusnya menyetir, Medina menoleh kearah kursi penumpang guna menatap anak yang baru saja mengajukan pertanyaan padanya. "Suka kok. Mama, papa, kakak—,"

"Lava gapapa."

"Hm?" Dahi Medina mengernyit tak paham.

Sambil memilin tali tas, Lava menjawab. "Lava gapapa kalo semua olang nggak suka sama Lava. Tapi, kalo mama nggak suka sama Lava, Lava sedih."

Mobil yang dikendarai Medina berhenti tepat didepan gerbang sekolah.

Medina menatap Lava, membingkai wajah Lava sembari melempar senyuman. "Lava anak mama, nggak ada kata benci buat Adek."

"Lava anak ibu," Medina tersenyum kecil mendengarnya. Ya, memang kenyataannya memang seperti itu. "Tapi Lava sayang sama mama. Jangan benci Lava kayak meleka, ya?"

Menarik Lava kepelukannya. "Mama nggak pernah benci sama Lava," Mengecup puncuk kepala Lava.

Tidak membenci? Nyatanya rasa benci Medina terhadap Lava sudah ada sejak anak dipelukannya ini masih berupa sebuah janin, belum terbentuk sama sekali.

Dan Medina menyesal.

Seharusnya yang Medina benci adalah wanita perebut suaminya, bukan anak tak berdosa yang tak pernah meminta untuk dilahirkan disituasi semacam ini.

"Jangan benci sama Lava, Lava nggak punya temen lagi," Mendongak menatap Medina.

"Mama sayang sama Lava, sama Abang, kakak, semuanya. Mama sayang anak-anak mama."

"Lava anak mama?"

Mengulas senyum kecil. "Lava anak mama Medina. Sampai kapan pun Lava anak mama Medina, oke?"

Berkedip beberapa kali. "Telus ibu?"

"Ibu orang yang udah ngelahirin Lava, sedangkan mama, mama orang yang bakal sayang sama adek, peluk adek setiap hari, mama juga orang yang masakin adek makanan enak-enak setiap adek mau makan."

Lava menyengir lebar saat Medina tertawa kecil. Gengsi kalau menangis, Lava tidak mau matanya membengkak saat masuk kelas nanti. Pasti, si Aken akan semakin gencar menganggu dan melontarkan kalimat nakal.

"Lava sayang sama mama juga nggak?" Tanya Medina saat Lava hanya menyengir saja. Sekaligus untuk mencairkan suasana.

"Sayang."

***

Siswa dan siswi dikelas Lava menganga tak percaya melihat perubahan yang mereka lihat saat ini.

Siswa pendek yang biasanya berpenampilan lusuh, bau, dan tidak terurus kini berubah seratus delapan puluh derajat.

Dari tatanan rambutnya yang rapi, seragamnya bersih dan tidak kumal, lalu bau badannya sudah menghilang entah kemana.

"Lo beneran si anak haram itu?" Aken masih tidak percaya. "Tapi masak sih? Lo nyolong punya orang?"

"Nyolong apa? Enak aja. Nggak punya akhlak."

"Makin nyolot ya Lo, mentang-mentang bajunya udah bagus," Cibir Aken.

"Nggak usah nyali libut sama Lava deh, sekalang Lava udah punya mama. Lava aduin Aken ke mama Lava kalo nakal telus."

Bukan Lava Cake [Completed]Where stories live. Discover now