BLC | CH-09

8.9K 996 107
                                    

Sepertinya laki-laki kecil pemilik nama Lavandra itu tengah berandai-andai menjadi bos besar yang sedang menikmati waktu santainya tanpa memikirkan hal lain.

Memanjakan dirinya diatas karpet bulu, dengan bantalan lembut dan juga selimut hangat, sembari menikmati cemilan dan tontonan kartun disore hari.

Sangat nyaman. Lava belum pernah merasakan hidupnya senyaman ini.

Lava menoleh ke kiri saat mendengar suara langkah kaki. "Woy!" Panggilnya pada ketiga kakaknya. Mereka terlihat masih memakai pakaian tadi pagi. "Tadi aku digigit om-om, dong," Memasukkan cemilan kedalam mulut.

Mavel, Marel, dan Miki spontan melempar pandangan satu sama lain.

Marel melipat tangannya didepan dada. "Enak banget ya, hidupnya sekarang. Ungkang-ungkang kaki, nonton kartun sambil nyemil."

Lava masih pada posisinya. "Kentut siapa sih itu? Kelas banget."

"Seenggaknya kalo emang Lo itu anak haram, punya etika dikit. Ini emang rumah papa, tapi Lo juga harus sadar diri kalo Lo itu pendatang dirumah ini," Mavel menatap Lava tajam. "Lo nggak bisa seenaknya aja meskipun mama baik sama Lo."

Semenjak Mavel berucap panjang lebar, bibir Lava bergerak mengejek Mavel. Sesekali memasukkan cemilan kedalam mulut.

Jika Mavel dan Marel bisa menahan emosi mereka dan hanya bisa membalas dengan ujaran pedas, lain hal dengan Miki.

Anak itu berlari kearah Lava dan langsung menyerang yang lebih kecil.

"Mati Lo!"

"Sakit!" Jerit Lava saat Miki duduk diatas perutnya sembari menarik rambutnya kencang.

Tangan yang tadinya Miki gunakan untuk menarik rambut Lava, kini beralih memukul pipi si bungsu. "Anak sialan!"

Tangisan kencang Lava mengisi ruang keluarga.

Mavel dan Marel saling melempar pandangan sebelum kembali memusatkan perhatian mereka pada Miki yang masih memukuli Lava brutal.

"Biarin apa gimana, bang?" Tanya Marel.

Mengangkat kedua bahunya acuh. "Biarin lah. Itung-itung udah diwakilin sama Miki."

Mavel tertawa sembari memukul bahu kakaknya main-main. "Iyasih. Tapi nggak kasian?"

"Nggak."

"Ya ampun! Miki!" Medina berteriak histeris dengan langkah kaki lebar mendekati Miki dan Lava. Melempar spatula ditangannya asal.

Seolah mendapatkan kekuatan super secara tiba-tiba, Medina menarik tubuh Miki dari belakang hingga Miki terjengkang dengan nafas terengah-engah.

Memandang datar sang ibu yang tengah mengangkat tubuh adiknya untuk dipangku.

"ABANG JUGA KENAPA DIEM AJA?!" Medina menjerit, hampir menangis saat melihat keadaan Lava yang bisa dibilang kurang baik.

Sudut bibirnya terluka, hidung si anak juga mengeluarkan darah. Menandakan sekuat apa pukulan Miki. Perbedaan ukuran tubuh juga menjelaskan.

"Nak," Medina menjauhkan wajah Lava dari dadanya, membersihkan darah yang terus keluar. Kedua mata bulat itu sedikit tertutup, isakan masih terdengar lirih. "Jangan merem dulu, liat mama."

"Lava," Panggil Medina. Berharap suara panggilan darinya membuat Lava kembali membuka kedua matanya.

Medina diserang rasa panik. Tanpa memikirkan apapun, Medina memaksa kakinya berdiri tegak bersama Lava digendongannya.

Melewati kedua putranya yang masih berdiri, terdiam melihat mama seperti itu untuk pertama kalinya.

"Bang," Keduanya menoleh kearah Miki secara bersamaan. "Mama udah nggak sayang gue lagi."

Bukan Lava Cake [Completed]Where stories live. Discover now