19 | No Winner Pt. IV

102 13 0
                                    

"Dia ditolak sungguhan?"

Gyuvin tersadar dari lamunannya. Ia meluruskan pandangan, melihat Ricky sedang menyesap cokelat panas dari gelasnya.

"A-Ah, iya. Benar. Hikaru bilang Ia sedang dihibur. Oleh kakak-kakaknya juga," jawab Gyuvin mengingat pesannya dengan Hikaru beberapa saat tadi.

"Jangan banyak melamun. Kau seharusnya lebih bahagia, kau memiliki kesempatan besar sekarang. Kenapa malah melamun?" tanya Ricky heran.

Gyuvin menggeleng yakin, "Tidak, kok. Aku tidak melamun."

Bohong, tentu saja Ia bohong. Mana mungkin Gyuvin memberi tahu bahwa Ia melamunkan Gunwook yang baru saja mengakui bahwa Ia menyukai gadis yang sama dengan Gyuvin? Ia masih belum bisa menerima fakta tersebut.

Ia dan Gunwook adalah teman dekat. Sekalipun terpaut satu tahun, tapi Gyuvin merasa bahwa Gunwook adalah salah satu teman terdekat yang Ia miliki. Tentu saja Ia takut bahwa masalah ini akan merenggangkan hubungan keduanya.

"Ya sudah. Aku ke kamar, mau mengerjakan tugas," pamit pria China itu seraya bangkit dari duduknya, "Tugasmu sudah dikerjakan belum?"

Yang ditanya menggeleng, "N-Nanti akan kukerjakan. Duluan saja."

Kepergian Ricky membuat Gyuvin semakin larut dalam lamunannya. Jujur saja, semenjak kepulangan mereka dari aksi 'menguntit' Youngeun tadi, Ia belum berani berbicara banyak pada Gunwook. Itulah alasannya tidak masuk ke kamar mereka semenjak pulang sekolah tadi. Setelah mandi dan berganti pakaian, Ia menyibukkan diri dengan merecoki kamar-kamar sebelah.

"Gyuvin, sedang apa?"

Pria Kim itu menoleh, mendapati Hanbin berjalan keluar dari kamarnya.

"A-Ah, aku mau bikin cokelat, Kak," jawab Gyuvin seadanya.

"Kenapa malah melamun? Kau ada pikiran?" tanya Hanbin khawatir melihat respon gagap Gyuvin, "Kakak bikinkan saja, ya?"

Tawaran Hanbin Gyuvin pikirkan. Ia ingin mengangguk, sebelum akhirnya sebuah kalimat muncul dari mulutnya.

"K-Kak, boleh aku minta dua?" tanya Gyuvin sedikit hati-hati, "Satu untuk Gunwook."

Hanbin terkekeh melihat aksi gugup Gyuvin. Ia tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja boleh. Tunggu sebentar, ya."

"Terima kasih, Kak Hanbin," lirih Gyuvin.

Benar. Ia membulatkan tekadnya untuk berbicara pada Gunwook dengan kepala dingin. Menurutnya, Gunwook sudah bersikap sangat adil dengan mau mengakui perasaannya juga sekalipun Ia bisa menyembunyikannya dan berjuang di belakangnya. Gyuvin berencana untuk menyatakan 'perang adil' antara dirinya dan Gunwook. Pastinya, Ia dan Gunwook sama-sama tidak mau merelakan perasaan mereka, 'kan? Artinya, hanya 'perang saudara' jawaban yang paling tepat untuk masalah mereka.

"Ini. Mau camilan juga?" Hanbin meletakkan nampan kecil berisi dua cokelat hangat untuk adik-adiknya itu.

"Tidak perlu, Kak," geleng Gyuvin. Ia tersenyum pada kakaknya, "Terima kasih, ya."

"Santai saja, Vin," Hanbin terkekeh gemas.

Diraihnya nampan tersebut, dan Gyuvin bangkit dari duduknya. Perlahan Ia mulai melangkah kembali ke kamarnya. Tiga ketukan Ia layangkan pada pintu kamarnya sendiri, sebelum akhirnya Ia benar-benar membuka pintu tersebut dan melihat Gunwook yang sedang bermain ponsel di kasurnya.

"Wook, sedang apa?" tanya Gyuvin berbasa-basi.

Gunwook menggeleng, "Hanya tiduran saja."

"Apakah... kita bisa berbicara?" tanya Gyuvin, sangat canggung untuk menimbulkan atmosfer serius dengan adiknya yang satu itu.

Bon Voyage || ℤ𝔹𝟙-𝕂𝕖𝕡𝟙𝕖𝕣 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang