BAB IV

681 69 6
                                    

Keringat mulai membasahi wajah Nabila yang sudah terlihat lelah. Pagi ini ia bersepeda bersama papa Faris. Sudah hampir satu jam mereka mengelilingi taman komplek, dan Nabila sudah merasakan kakinya pegal bukan main.

Papa Faris benar-benar membangunkan Nabila pagi-pagi sekali dan tidak mengizinkannya untuk kembali tidur setelah sholat subuh. Awalnya Nabila kira papanya hanya bercanda ingin bersepeda di hari Minggu pagi, ternyata ucapan papanya bukan hanya sebatas membujuknya agar tidak marah lagi.

Mereka hanya bersepeda berdua karena mamanya ada arisan dengan ibu-ibu komplek, sedangkan Rony masih tidur.

Nabila berusaha mengejar ketertinggalannya dengan sang papa yang memimpin di depan, ia ingin beristirahat sejenak. Dengan sisa-sisa tenaga, Nabila berhasil menyalip papanya.

"Pah, istirahat dulu, capek..." Nabila sengaja berhenti di depan papanya, membuat sang papa mau tidak mau menghentikan kayuhan pedal sepedanya.

Melihat wajah anaknya yang memang terlihat lelah, sang papa tersenyum sambil mengangguk menyetujui. "Adek tunggu di bangku sana, papa beli minum dulu. Jangan kemana-mana ya." Papa Faris menunjuk bangku taman yang tidak jauh dari tempat mereka berhenti, kebetulan bangku itu kosong.

Nabila menghembuskan napas lega, akhirnya ia bisa beristirahat. Ia mengangguk, "adek tunggu di sana ya, papa jangan lama-lama tapinya."

"Iya.. udah sana,"

Dengan cepat Nabila menuju bangku taman tersebut, membiarkan papa Faris kembali mengayuh sepedanya untuk membeli minum terlebih dahulu. Saking buru-buru nya mereka, sampai lupa tidak membawa minum dari rumah.

Setelah memastikan sepedanya aman, Nabila duduk di bangku taman sambil meluruskan kakinya.

"Ya Allah.. pegel banget, kaya mau copot ini kaki." Nabila sedikit memijat kakinya yang kini terasa kebas. Ia baru menyadari bahwa sudah lama sekali dia tidak olahraga, pantas saja baru satu jam bersepeda, kakinya sudah terasa pegal seperti ini.

Tanpa Nabila sadari, ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Laki-laki itu memicingkan mata, berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang dilihatnya adalah orang yang dimaksud. Perempuan yang waktu itu tidak sengaja ditemuinya di halte saat hujan.

Merasa yakin dengan orang yang dilihat, bibirnya mengukir senyum tipis. Dengan langkah pasti Paul menghampiri gadis yang sedang duduk di bangku taman sendirian. Paul tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk berkenalan dengan gadis yang akhir-akhir ini selalu hadir dalam kepalanya. Bayangan gadis itu yang menyelamatkan Paul dari kenangan buruknya tentang Nara.

"Hai,"

Nabila tersentak ketika mendengar ada seseorang yang menyapa didekatnya. Ketika Nabila menoleh, betapa terkejutnya ia melihat orang yang sama dengan yang dilihatnya di halte tempo hari saat hujan.

"Boleh duduk di sini?"

Nabila masih bungkam, tapi matanya tidak lepas dari wajah Paul.

"Hei," Paul melambaikan tangannya di depan wajah Nabila, membuat Nabila tersadar.

"Oh, iya, silakan duduk aja. Lagian ini tempat umum ko," dengan susah payah Nabila berusaha menormalkan nada bicaranya, jantungnya kembali berdegup kencang.

Paul tersenyum lalu duduk di samping Nabila, "terima kasih."

Nabila hanya tersenyum sambil berdeham pelan, ia bingung ingin merespon lelaki yang belum dikenalnya ini bagaimana. Tidak mungkin juga ia sok kenal dengan orang yang baru dua kali ia temui, itupun tidak sengaja.

Jujur saja Nabila jarang sekali berinteraksi dengan laki-laki selain dengan sang papa dan abangnya. Jadi pantas saja jika Nabila belum pernah menjalin hubungan spesial dengan laki-laki manapun lebih dari sekedar teman.

SEMESTAOnde histórias criam vida. Descubra agora