BAB I

1K 77 3
                                    

"Langsung ke café, Sal?"

Perempuan dengan hijab hitam itu menoleh sekilas saat teman satu divisinya bertanya. Bibirnya tersenyum dengan kepala yang dianggukkan, "iya, makanya ini buru-buru."

Salma merapikan beberapa map yang berisi berkas-berkas yang ada di atas meja kubikelnya, menyusunnya dalam satu tumpukan. Setelah memastikan komputer di mejanya mati dan semua sudah tersusun rapi, Salma mengambil tasnya lalu segera berpamitan untuk pulang duluan pada beberapa temannya yang masih ada di ruangan tersebut.

Langkahnya terburu-buru karena dua jam lagi ia harus sudah berada di salah satu café untuk bernyanyi, sedangkan sekarang ia mandi saja pun belum.

Beruntungnya Salma karena kondisi jalanan ramai lancar jadi ia tidak perlu bermacet-macet ria, ditambah ia mengendarai motor yang bisa dengan mudah menyalip diantara mobil-mobil yang meramaikan jalanan ibu kota malam ini.

Salma menghirup napas dalam, menikmati udara malam Jakarta dengan city light yang memanjakan mata. Setidaknya dengan begitu Salma sedikit merasa rileks setelah seharian bekerja di depan laptop dengan posisi duduk terus menerus.

Ia sengaja mengambil sampingan sebagai penyanyi regular di beberpa café Jakarta yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor tempatnya bekerja. Sebetulnya penghasilannya dari bekerja di kantor itu sudah cukup untuk memenuhi biaya hidupnya di Jakarta. Namun, menyanyi merupakan salah satu hobinya sejak dulu, jadi ia pikir apa salahnya mengambil pekerjaan sampingan yang ia sendiri pun sangat menikmatinya.

Sebagai anak rantau yang jauh dari keluarga, Salma sudah terbiasa untuk hidup mandiri dan tidak ingin menyusahkan orang lain, apalagi kedua orang tuanya. Sebisa mungkin ia tidak menceritakan hal-hal yang membuatnya sulit atau sakit sekalipun pada mama dan papanya.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit, Salma memarkirkan motor maticnya di parkiran café yang cukup ramai. Mungkin karena ini malam sabtu, besok sudah weekend.

Memang ia langsung menuju café, karena jika ia pulang terlebih dahulu ke tempat kos nya, sudah pasti ia akan lebih telat lagi. Dengan setengah berlari Salma masuk melalui pintu belakang untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu sekaligus berganti baju dan make up.

Tidak butuh waktu lama, tinggal memoles pewarna bibir agar terlihat fresh, selesai. Pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang, membuat kegiatannya yang sedang merapikan alat tempur untuk mempercantik wajahnya itu terhenti.

"Udah dateng ternyata artis kita malam ini, kirain bakalan telat karena lembur kantor dulu."

Salma tertawa menanggapi salah satu pramusaji perempuan yang bekerja di café tersebut, Najwa namanya. "Bukannya ini juga udah telat ya?"

Pertanyaan Salma sontak saja mengundang Najwa untuk tertawa juga. "Nggak, lah. Masih ada ya..." Najwa melihat jam tangan miliknya sekilas, "lima belas menit lagi. Hahaha.."

"Ya udah, gue duluan ya, mau stem gitar dulu."

"Halah, emang siapa si yang berani ngerubah steman lo."

Lagi-lagi Salma tertawa, membenarkan ucapan Najwa. Karena gitar yang disediakan oleh pemilik café tidak pernah dirubah oleh siapapun kecuali Salma.

Setelah meninggalkan Najwa di toilet tadi, juga menyimpan tas juga barang bawaannya di dalam loker, Salma melangkahkan kakinya menuju panggung kecil yang tersedia. Ia mengambil gitar dan mulai menyapa pengunjung café lalu mulai bernyanyi dengan lagu pertama andalannya, Bunga Hati.

---o0o---

Rony melirik adiknya yang masih saja marah atau lebih tepatnya merajuk karena ia telat menjemput. Nabila melirik sinis ke arah Rony saat abangnya itu meletakkan sepotong paha ayam goreng di atas piringnya. Ia sudah terlanjur tidak napsu makan. Sebenarnya jadwal yang sudah nabila buat hanya tertunda, bukannya gagal. Tapi entah mengapa rasa dongkol di hati Nabila itu sulit hilang.

SEMESTAWhere stories live. Discover now