Habis semuanya.

Dadik, si anak kelas satu yang sempat jadi jubir untuk menjawab tanya Rayyan soal Shouki, langsung diseret ke gang gelap.

"Kamu ikut mukulin Shouki?"

"Enggak—enggak, Kak, ampun, Kak, saya cuma nonton. Sumpah."

"Cuma nonton ngebiarin ada temen sekelas lo di-bully. Mau ngerasain digebukin juga lo?" bentak anak-anak lain.

"Ampun, Kak. Sa-saya cuma takut sama Kak Jefri, Kak. Ampun, Kak."

"Jefri bukannya anak geng motor kita? Wah, bikin malu nama geng dia!"

"Jadi Jefri yang mimpin pem-bully-an ini? Oke, terima kasih," Rayyan berujar dingin. "Khusus Jefri, mau saya culik malam ini. Siapin gedung kosong bekas pabrik atau apa. Semoga saya enggak khilaf."

"Hajar!"

Dan tak butuh waktu lama bagi Rayyan untuk mengantongi segala hal tentang Jefri.

Alasan menyerang Shouki? Terungkap fakta Jefri adalah mantan terakhir Amel. Jefri tidak terima Amel move on dan jatuh cinta dengan cepat ke cowok lain. Barangkali Amel juga sengaja ingin membuat Jefri cemburu dengan cara menembak Shouki terang-terangan. Bagaimanapun juga, Jefri sangat dibuat panas ingin menonjok Shouki.

Sabtu malam, Jefri yang baru pulang nongkrong dengan teman-teman berandalannya dicegat geng Rayyan. Kepala ditutupi pakai kresekan hitam kantong sampah, lalu digeret masuk mobil.

Jefri sudah ditunggu di depan mobil mewah Rayyan, Hummer H3, yang menyala dalam gelap di depan gedung angker bekas pabrik. Rayyan berdiri tegap membentuk siluet pangeran kegelapan di depan lampu mobil, sambil menggosok-gosok bodi pentungan besi, properti ala psikopat.

Saat Rayyan mendekat, Jefri refleks menutupi mukanya untuk menangkis pukulan.

"Enggak usah takut saya pukul. Saya bukan tukang bully kayak kamu," Rayyan memulai, "saya enggak mau jadi cemen nindas ngeroyok kayak kamu. Tapi kalau lihat orang-orang yang suka nge-bully kayak kamu, tangan saya jadi gatel pengin nusuk." Gosokan Rayyan pada pentungan besinya menguat. "Bukan tukang bully, saya mungkin lebih ke psikopat. Tempat ini sepi. Kamu teriak sekenceng apa pun enggak bakal kedengeran."

Belum apa-apa Jefri sudah kencing di celana.

Rayyan berjongkok di hadapan Jefri, memotretnya. "Foto ngompolmu ini mau saya kirim ke Amel, mantan terindahmu. Saya juga bakal bilang ke Amel apa yang kamu perbuat ke Shouki Wisanggeni. Kayaknya ini cukup buat ngancurin kamu."

Jefri melawan, memaki-maki. "TA*IK! LEPASIN GUE! LEPASIN—"

Anak-anak kelas tiga berebut membentaknya, "LO YANG TA*IK! DIEM!"

"Udah salah malah gede bacotnya. Memang minta dihajar si bajingan satu ini—" Anak-anak gemas ingin menendang punggung Jefri.

"Jangan." Rayyan mengangkat tangan. "Saya enggak mau Jefri luka terus dia playing victim ngadu ke ortunya. Anyway, ibu kamu guru di SMA kita, kan? Kalau Beliau tau anaknya tukang bully kayak kamu, gimana reaksinya? Oh, dan gimana reaksi kepsek juga? Harusnya enggak bakal biarin ada guru punya anak tukang bully, hobi tawuran sama geng motor SMA sebelah, ini jelas bakal bikin jelek nama orang tuamu juga di sekolah—"

"LO ENGGAK BISA NGELAKUIN INI! LO ENGGAK PUNYA BUKTI GUE YANG PUKUL SHOUKI!"

"Enggak perlu ngaku juga gapapa. Satu klub basket siap bersaksi besok di ruang guru. Jam tiga sore, waktu latihan basket, Shouki Wisanggeni ajak kalian ngomong baik-baik soal kenapa dia dijauhi. Kamu bentak dia, ngumpulin anak-anak buat ngeroyok Shouki di belakang aula indoor, mukul dia sampai muntah-muntah." Rayyan menekan pentungan besi ke perut bawah Jefri. "Kalau saya sodok kamu di sini enggak bakal keliatan ada luka, kan? Paling enggak bisa jalan aja kamu beberapa hari. Untuk dokumentasi, foto-fotomu malam ini saya kirim ke Amel—"

Tampan Berdasi (MxM)Where stories live. Discover now