Beginning

3.6K 167 2
                                    

___________________________________________



Menjelang hari sakral yang dinanti, dipan ini amat sulit ditiduri, matanya terus mengintip pada jam dinding di samping kiri, berharap bahwa waktu bergulir cepat melewati dua malam lagi. Setidaknya hanya dua malam lagi, agar detak jantung yang berpacu ini, lekas kembali seperti pada hari-hari biasa ia lakoni.

Sayup-sayup dari setengah sadar, Marsha mendengar suara jendela yang menyambar-nyambar, tatapan matanya mengedar, pada titik cahaya yang berpendar.

Mau tak mau ia beringsut, kedua kakinya didaratkan di lantai, ia mulai mengendap-endap meraih sapu yang menggantung di bilah pintu, takut-takut bangsat datang, tidak lucu sekali, kalau ia hanya memakai tangan kosong untuk melawan. Memang, kekuatan dan tenaganya sebagai seorang wanita, tak akan sebanding dengan makhluk yang belum ia tahu rupanya, setidaknya, ia punya sapu untuk memukul kalau kalau yang di balik jendela adalah bangsat sesungguhnya.

Peluh bercucuran seperti diguyur hujan, detak jantung Marsha mulai berpacu tak karuan, apalagi ketika jendela itu berhasil dicukil makhluk misterius. Tanpa aba-aba, Marsha menghentakan sapu itu ketika sebuah kepala menyembul dari jendela, terlambat sudah karena yang dihadang manusia yang tahu caranya menghindar.

"Sayang, ini aku..."

Sama seperti Marsha yang bermandikan keringat, pria itu tak ubahnya seperti diguyur air satu bak.

Marsha mengembuskan napas lega, lututnya yang terasa keropos akibat ketakutan, mulai pulih kembali dan bisa tegak berdiri.

"Kamu mau apa ke sini? Malam-malam?" Pertanyaan Marsha, sungguh tak digubris sama sekali. Pria itu berjalan untuk duduk di ranjang, ketika Marsha berjalan untuk menyalakan lampu, pria itu menggeleng dan kini, Marsha bergabung duduk di bibir ranjang.

Keduanya diam, sambil menikmati decak jam dinding yang lama kelamaan, bunyinya makin keras. Sepi datang bertandang, padahal yang dinanti sudah datang. Tapi, sepi memang tak tahu diri, tak pernah kenal waktu atau... sepi memang tak pernah kenal dengan jam dinding yang berdecak-decak seperti punyanya.

Marsha risih ketika pria itu menatapnya dari ujung rambut ke ujung kaki, dirinya seperti sedang disetubuhi oleh mata sang pria. Presensi pria itu memang selalu berhasil membuat Marsha salah tingkah lagi dan lagi.

"Kenapa enggak datang lewat pintu depan? Handa masih bangun dan sibuk dengan-"

"Aku malu bertemu Handa." Kata pria itu amat murung sekali.

"Sayang... kenapa?"

"I can't." Tidak terlalu lama dari Marsha bertanya, pria itu menjawab dengan murung, dengan bibir bergetar, dengan tatapan mata sayu yang layu. Kedua tangan kekar itu, menjambak rambutnya sendiri dengan amat frustrasi.

"Apa?"

"Aku sudah mencobanya, aku selalu mencobanya. Kita. Aku mencoba menerima kita, tapi, Marsha... sayangku, kamu tahu betapa besar aku sayang sama kamu. Tapi, aku enggak bisa."

"Apa maksudmu? Ada apa?"

"Sungguh, aku sayang kamu, selalu. Enggak ada yang lain lagi, aku bersaksi enggak ada satupun orang lain di hati aku. Tapi, aku enggak bisa."

"Jangan bercanda. Kamu sebenarnya kenapa?" Marsha mengenggam dua tangan dingin pria itu.

"Sha, aku sayang sama kamu, tapi enggak bisa." Kini, bulir-bulir air mata bagai hujan lebat yang turun di pipi pria itu. "Menikahimu, lusa. Aku enggak bisa."

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalWhere stories live. Discover now