Sholat Dhuha Pertama

22 4 0
                                    

Savara merasa gelisah. Dirinya terlambat datang dan mendapatkan hukuman dengan berdiri di depan kelas seraya berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan saling menyilang menjewer kedua telinga. Rasa malu sudah tidak bisa Savara bendung meski wajahnya tertutupi dengan sebuah cadar. Tetap saja ia yang anak baru di sini merasa semua perhatian orang tertuju padanya, bukan hanya orang yang melewatinya tetapi juga dengan santri yang berada di dalam kelas. Seolah lebih penting melihat Savara yang dihukum dibandingkan dengan mendengarkan penjelasan dengan baik.

"Sava!"

"Savara!"

Savara tidak kunjung menoleh karena lehernya yang bahkan terasa kebas sebab sudah berdiri hampir dua jam di depan kelas. Amel yang meminta izin ke toilet dengan Alaina berusaha menemui Savara dengan berbagai cara sebab rasa bersalahnya meninggalkan temannya itu.

"Sava! Ih budek banget nih orang."

Amel kesal sendiri sedangkan Alaina bahkan hanya menatap malas tingkah Amel yang menurutnya berlebihan itu. "Udah nggak usah dipaksa. Nanti ketahuan kita Cuma pura-pura ke toilet malah jadi masalah juga."

Amel menatap sinis Alaina yang lagi-lagi hanya memikirkan diri sendiri. "Ini juga karena kamu, Alai."

"Kok malah nyalahin aku. Orang Savara yang terlambat dan dihukum."

Amel memutar bola matanya malas mendengar penuturan Alaina yang tidak mau mengakui kesalahan. Jelas-jelas Savara dihukum sebab mengambil bukunya yang dimana gadis itu lupa sebab terlalu bersemangat menunggu teman-temannya, termasuk Alaina di dalamnya. Amel mencoba bersabar dan tidak menanggapi Alaina yang memang egois. Ia kembali memfokuskan pandangannya kepada Savara yang membelakangi mereka karena posisi toilet berada di ujung dan kelas mereka tepat di depan toilet.

"Savara!"

Savara yang merasa dipanggil mencari sumber suara. Ia celingak-celinguk hingga menemukan Amel yang melambaikan tangan dengan membuka bagian cadar bagian bawah, memperlihatkan bahwa yang memanggil Savara adalah gadis dengan wajah bulat itu. Savara tersenyum dan mengangguk.

"Cape? Maaf ya."

Savara menggeleng dan memberikan isyarat tidak. Meminta Amel dan satu teman itu segera kembali sebelum mendapatkan masalah.

"Ih ... kasian banget Sava. Mana mataharinya lagi terik."

"Udah, Mel. Ayo balik sebelum ketahuan."

"Bentar dulu. Mau liat Savara," rengek Amel karena tidka tega dengan Savara yang dihukum sendirian.

"Savara bukan tontonan. Kalo kamu masih mau di sini yaudah aku tinggal. Aku nggak mau ya kita jadi kena masalah karena tingkah kamu yang enggak jelas ini."

Amel mengerucutkan bibirnya. Ia akhirnya mengikuti Alaina untuk berjalan kembali ke dalam kelas. Amel terus berusaha melambaikan tangan kepada Savara dan menyemangati gadis itu dengan gerakan-gerakan tangan yang ia buat. Savara hanya menanggapi dengan senyuman sebab mata gadis itu terlihat menyipit. Savara memberikan isyarat untuk segera masuk ke dalam kelas karena mereka tahu aturan ketat yang diberlakukan di dalam pesantren maupun kelas keagamaan dan pelanggaran yang telah dicantumkan.

Savara menghembuskan napas lelah dengan terik matahari yang semakin panas dirasa. Perutnya begitu lapar sebab ia belum makan apapun sejak pagi sebab terlalu bersemangat datang ke kelas, tetapi justru musibah datang karena ia terlambat hingga akhirnya berada di sini. Savara melihat jam tangannya, masih ada setengah jam lagi untuk bel istirahat dan hukumannya berakhir. Ia akan makan dan melakukan sholat dhuha agar kewajiban tubuh dan agamanya terpenuhi setelahnya.

Savara merasa begitu lelah dengan posisinya hingga ia berhenti untuk mengganti posisi dengan satu kaki yang lain. Matanya melihat sekitar yang dimana semua kelas masih utuh dengan santri yang diajarkan oleh ustadz-ustadz yang mengisi pelajaran. Meski mendapatkan hukuman, Savara masih saja bisa bersemangat sebab setelah istirahat adalah jam pelajaran ustadz Zayn yang ia tunggu-tunggu.

Ustadz ZaynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang