Ya gimana? Kalau mereka gak ketemu, semua masalah gak bakal selesai. Untuk mental sebenarnya Vanya baik-baik aja. Cuma kalau ditanya soal masa lalu, dia masih tertutup. Masa lalunya begitu menyakitkan. Siapapun yang merasa juga pasti akan menutup itu rapat-rapat.

"Ibu buat tempe goreng di dapur. Kalau mau makan ambil aja," Ucap Ayumi diangguki Vanya.

"Kalian mau ke puskesmas ya?" Vanya berjalan mendekati Elen, merendahkan badannya dihadapan anak itu. "Maaf ya mama gak bisa antar Elen."

Elen yang pucuk kepalanya dipuk-puk pun memejamkan mata sejenak. Mamanya udah baik kan? Nggak kayak kemarin lagi?

"Mama sayang sama Elen," Kata Vanya memeluk tubuh kecil putrinya.

Dengan senang hati, Elen membalas pelukan Vanya, "E-elen ju-juga sa-sayang sa-sa-sama M-ama."

"Van, kamu yakin kan bisa kontrol diri di depan dia nanti?" Tanya Ayumi memastikan. Sebetulnya ia kurang yakin, tapi melihat Vanya yang mengusul kan diri membuat Ayumi setengah yakin.

Vanya tak bisa menjawab pertanyaan Ayumi. Dia sendiri bingung, apa benar jiwanya siap bertemu laki-laki brengsek itu?

"Ya udah, ibu percaya sama kamu. Ayo Elen, kita harus cepat sampai puskesmas," Ayumi pun menggandeng Elen keluar rumah. Tinggallah Vanya sendiri di sana.

Perempuan itu berdiri sambil menghembuskan nafas pelan. Kemarin dia gak bisa mengontrol diri karena kaget melihat orang yang selama ini ia hindari. Sekarang, dia tahu laki-laki itu ada disekitar sini. Maka Vanya meyakinkan diri untuk berhadapan dengannya.

Satu jam berlalu. Vanya sudah siap dengan dress cream polos yang ia dapat dari orang-orang ketika memulung. Bekas orang memang, tapi masih bagus dan layak pakai.

Tok tok tok tok.

Suara pintu diketuk membuat Vanya yang sedang menyisir rambut terkejut. Itu pasti Gavin, batin Vanya tiba-tiba gelisah.

Pintu terbuka pelan. Pertama kali memandang Gavin, Vanya memutuskan kontak mata. Berbeda dengan Gavin yang malah terus-terusan memandangi wajah Vanya.

"Ekhem, Van, gue—aku kesini mau--" Ucapan Gavin terbata membuat Vanya memotong kalimatnya.

"Ibu udah kasih tahu kalau hari ini kamu mau kesini, bicara tentang Elen, iya kan?" Gavin mengangguk.

"Mau masuk?" Tawar Vanya. Dia tidak yakin orang modelan Gavin mau masuk dan duduk di atas tikar rumahnya. Apalagi melihat tikar yang sudah sangat lusuh itu.

"Maaf, Van, aku niatnya mau ngajak kamu bicara diluar sekalian kita jalan-jalan. Kamu... Mau kan?" Ajak Gavin ragu. Kalau ditolak pun Gavin udah siap jiwa raga.

Gavin mengajak Vanya bicara diluar juga bukan karena gak mau masuk. Gavin cuma mau cari udara segar biar semua juga segar.

Tanpa menjawab ajakan Gavin, Vanya bergerak menutup pintu dari luar. Ia pakai sandal yang tersisa di depan rumah lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Gavin.

"Cepat!" Teriak Vanya yang sudah menjauh. Gavin membuyarkan lamunan, ia kaget melihat Vanya tidak menolak ajakannya.

"Van, kamu--"

"Jangan gandeng tanganku!" Sentaknya merasa Gavin mencuri kesempatan.

"Sorry."

Diperjalanan, mereka hanya diam-diaman. Gavin menunggu Vanya akan membawanya kemana, pasalnya dari tadi Vanya seperti sedang membawa Gavin ke suatu tempat.

Dan sampailah mereka di sebuah ladang, ah bukan, kayak persawahan luas gitu. Vanya duduk di sebuah bangku yang memang dibuat untuk para pekerja istirahat setelah menanam atau memanen hasil sawah mereka. Tempat itu berada dipinggir sawah dengan pohon besar di sampingnya. Pemandangan ketika mereka duduk di sana adalah sawah-sawah hijau yang begitu luas.

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt