Sadar Vanya menghampiri, Gavin mempererat gendongannya. Elen pun spontan diam dan mengalungkan tangan di leher Gavin.

"P-pa," Lirih Elen takut Vanya marah kepadanya.

"Gak apa Sayang," Ucap Gavin mengelus punggung putrinya.

"Balikin!" Bentak Vanya mengambil paksa Elen dari gendongan Gavin.

"M-ma, aku ma-mau sa-sama Pa-papa," Ucap Elen. Sempat ia eratkan lagi kalungan tangan di leher Gavin.

Awalnya Gavin juga menahan badan Elen, namun ia rasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk memperebutkan Elen. Setelah berhasil menggendong Elen, Vanya pergi kembali masuk ke dalam rumah.

Gavin menatap punggung Vanya dari belakang. Ada yang tidak beres dengan perempuan itu.

Ayumi terus-terusan bersabar. Dia pun berjalan menghampiri Gavin yang tak jauh dari pintu masuk rumah ini.

"Elen udah tahu?" Tanya Ayumi diangguki Gavin. "Dia bahagia sama kamu."

"Mungkin karena dari kecil gak pernah ngerasain kasih sayang dari sosok Ayah?" Sahut Gavin.

Ayumi tersenyum kecut. "Besok jadi mau bicara berdua sama Vanya?"

"Vanya udah baikan?" Tanya balik Gavin.

"Lumayan. Besok jadwalnya Elen terapi di Puskesmas. Jadi, selama saya dan Elen tidak di rumah, kamu bisa gunakan waktu itu sebaik mungkin buat bicara berdua sama Vanya." Ucap Ayumi.

"Baik, bu. Em, jadwal Elen terapi tu hari Sabtu?" Tanya Gavin memastikan. Dia juga ingin mengantarkan anaknya terapi.

"Dulu seminggu sekali dokternya kesini. Tapi saya rasa tempat ini gak bagus buat seorang dokter menerapi pasiennya. Makannya saya meminta agar jadwal Elen di ganti sebulan sekali setiap tanggal 25 di Puskesmas," Lagi, Gavin mengangguk.

Anggukan dia kali ini menandakan kesedihan. Gara-gara dia, seorang anak tak bersalah mendapat hukuman kayak gini.

"Maaf, bu, setelah ini saya tidak akan menyia-nyiakan Vanya ataupun Elen lagi. Saya berjanji akan bertanggung jawab."

"Ya, melihat kamu, sepertinya kamu itu orang berada yang mampu menghidupi sebuah keluarga. Kalau bisa juga, tolong bawa Vanya ke keluarga kandungnya. Dia lebih berhak hidup enak bersama mereka dari pada susah bersama saya."

"Ibu udah tahu siapa keluarga kandung Vanya?" Tanya Gavin memastikan satu hal dulu.

"Saya sempat bertemu dengan ibu kandungnya waktu di rumah sakit."

"Jadi Vanya udah ketemu sama Tante Clara?" Ayumi menganggukkan kepala lalu mengangkat kedua bahu pertanda tak tahu.

"Waktu itu beliau datang ke ruang inap Elen. Jujur, saya sedikit takut waktu beliau mengajak Vanya pulang. Tapi mendengar Vanya menolak hati saya mendadak lega. Dan sekarang, setelah saya pikir-pikir, saya rasa Vanya berhak untuk pulang ke keluarga aslinya."

"Memang ibu ikhlas kalau suatu hari nanti Vanya, saya bawa pulang?" Ayumi hanya tersenyum kecil.

Membayangkan Vanya dan Elen pergi dari kehidupannya itu sangat berat. Apalagi selama kurang lebih 5 tahun ini mereka pernah menjadi keluarga bahagia.

Tapi, Ayumi juga tidak boleh egois. Vanya bukan siapa-siapanya, Vanya hanya seorang gadis yang ia tolong saat sedang terpuruk. Dia harus pulang ke rumah yang sebenarnya sebab tugas Ayumi disini telah selesai.

Tangan Gavin mengelus-elus lengan atas Ayumi sebagai tanda penguat. Walaupun tidak pernah merasakan, Gavin tahu betul rasa sedihnya ditinggal keluarga itu seperti apa.

"Terima kasih aja gak cukup buat ibu." Gavin memeluk tubuh Ayumi.

Tangisan Ayumi runtuh saat itu juga. Dia benar-benar tidak ingin Vanya pergi dari kehidupannya.

"Gavin yakin, Vanya nggak mungkin semudah itu buat jauh dari ibu."

•••••

22.40 wib.

"Kirimin gue cash 10 juta. ATM gue ada di kamar."

"Lah lo bawa ATM kan bodoh?" Sahut orang dari seberang sana dengan jiwa yang setengah sadar.

"Disini gak bisa narik ATM, Jing. Buruan gue butuh uang sekarang."

"Buat apa sih anying? Ganggu orang tidur aja lo! Udah malem nih."

"Besok gue mau ngedate sama Vanya."

"Alahh, ngedate. Mau beli apaan lo pake uang 10 juta?"

"Ck bacot! Buruan. Suruh supir Mama gue kirim kesini. Gue gak mau lo, lo, pada yang malah dateng kesini."

"Hm."

Setelah telfon dengan Marvel selesai, Gavin langsung merebahkan diri di kasur yang lumayan keras ini. Ya setidaknya ia tidak tidur di tikar, bisa remuk tulangnya.

"Lo tenang aja Van, hutang-hutang lo beres sama gue. Kemarin gue udah nge-clear-in hutang yang sama pak RW 300 ribu, terus uang gue abis. Tapi tenang, besok gue lunasi semuanya." Ucap Gavin kepada angin.

Setelah pulang dari rumah Vanya tadi, Gavin sempat meneghubungi pak RW. Dia menanyakan soal hutang-hutang Vanya kepada orang disekitaran sini.

Merasa Vanya belum mampu membayar hutang-hutangnya, Gavin memiliki inisiatif untuk membayarnya. Toh ini termasuk tanggung jawabnya kan? Vanya nekat hutang karena Elen dan Elen sendiri adalah anaknya. Ya udah seharusnya Gavin membantu Vanya.

"Ternyata hidup sendiri gini ada enaknya ada gak enaknya. Lo selama lima tahun ini pasti punya banyak cerita, kan, Van? Gue minta maaf. Gue emang buruk banget di kisah lo. Tapi gue dateng buat memperbaiki hubungan kita. Seenggaknya sebagai teman."

"Terus habis itu sebagai istri. Ya gak sih?" Setelahnya, Gavin terkekeh sendiri.











Bersambung.


Btw gak lagi-lagi aku kasih rules buat up.


Maaf banget we kemarin ga lngsng up😭 ya aku ga expect kalo bakal cepet tembus 390+nya.

Terima kasih yang udah bacaa🤍✨

MAU VOTE SEBANYAK-BANYAKNYA! harus tembus lebih bnyk dri pada part kemarin.

Yang belum vote dari prolog sampai part ini juga vote dulu lahh. Masa ada kesenjangan vote, kan dilihatnya ga enak.

8 12 23

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Where stories live. Discover now