The Young Fire Lady's

21 6 4
                                    

Tidak ada salahnya bagi seorang gadis mendambakan pujaan hati. Namun, yang membedakannya yaitu akal. Sejauh mana mempertahankan akal agar tetap waras ketika nafsu kian berkobar. Inilah kisah singkat satu-satunya leluhur wanita yang bergabung hari ini. Kisah cinta leluhur ke-13.

••••••••••••••••

Hongo, Musim Panas 1682

Rumah yang kutempati selama ini hancur dilahap kobaran api yang merembet dari daerah utara tempat kios penjual dango berada. Beruntunglah kami sempat menyelamatkan diri menjauhi amukan api. Kerusakannya cukup fatal, kemungkinan perlu satu tahun perbaikan agar kembali utuh. Kabar baiknya ayah mengajak kami untuk tinggal di kuil pengikut Buddha yang menjalin transaksi penjualan sayur dengan ayah.

Ya, ayahku seorang penguasaha sayuran terkenal dan kami termasuk keluarga saudagar dengan komoditi sayuran. Namun, tahun ini kami tidak bisa berharap banyak sebab gudang penyimpanan penjualan kami ikut terbakar juga.

Sayang sekali. Seandainya pemerintah di Edo mengatur pertumbuhan penduduk juga hunian mungkin kasus kebakaran tidak sering terjadi. Jujur saja aku sudah muak dengan berita kebakaran di penjuru kota. Sampai sekarang pun masalah ini belum bisa teratasi.

Cih, para pejabat itu pasti sibuk bermain dengan wanita sampai lalai dalam tugas melindungi kami. Dasar sampah!

Nah, singkat cerita aku dan keluarga bersama para pelayan tiba di depan pintu Kuil Enjoji dekat kaki bukit sekitar Edo. Ayah segera disambut oleh kepala biksu. Mereka berbincang singkat lalu kepala biksu itu memberi arahan kepada pelayan untuk menaruh perbekalan kami di salah satu aula khusus tamu kuil.

Hmn, ya, ruanganya luas juga cukup terawat hanya saja ventilasinya terlalu banyak. Bisa-bisa kami kedinginan selama malam hari. Semoga mereka menyediakan selimut tebal yang cukup. Aku segera keluar dari aula itu. Berjalan-jalan di sekitar kuil melihat beberapa biksu yang sedang beribadah atau berbincang dengan ayahku perihal sayuran.

Hingga.

Ahk, ini terlalu klise. Maksudku di antara para biksu yang sedang bersama ayah di dekat paviliun taman. Seseorang memikat mataku. Maksudnya pandangan kami saling bertemu. Dia memiliki wajah di atas rata-rata biksu lainnya, mata bulat seperti rusa juga senyuman tipisnya.

Oh, wajahku mendadak memerah! A-apa ini?! Aaa, tidak, tidak. Kami tidak bisa bersama. Dia sudah menjadi pria suci!

Aku yang malu berlari menuju aula menemui ibu. Huft, panas sangat wajahku. Jantungku berdebar. Bahaya! Bahaya! Masa, sih, aku menyukai biksu? Ini tidak masuk akal.

Ahk, apa karena wajahnya? Sungguh di sekitar rumahku tidak ada lelaki setampan dia! Gila! Bahaya!

Aku harus melupakannya dan berhenti menemuinya.

Dan, ya, itu hanya rencana saja pada akhirnya kami resmi berkenalan saat acara makan malam. Kepala biksu mengundang kami ke aula jamuan. Disitulah aku mengetahui namanya. Dia Ikuta Shonosuke seorang biksu muda berasal dari Osaka. Dia datang ke mari untuk menenangkan diri setelah ditinggal mati oleh ibunya.

Entah kenapa sehabis berkenalan pada malam itu, secara ajaib kami semakin dekat. Sesekali kami bertemu di paviliun dekat taman baca. Bertukar kisah, menyemangati satu sama lain dan terkadang aku mendengar kisah perjalanan Sang Buddha. Aku tidak tahu apa ini melanggar sumpahnya dengan Buddha karena hubungan kami kian dekat.

20 SesonWhere stories live. Discover now