Half Blood Man And Prophecies

34 10 6
                                    

Kisah pertama berasal dari leluhur generasi ke-15. Uniknya di ruangan ini hanya dia yang memiliki fitur muka juga warna rambut yang menonjol. Ahahaha, wajahnya merengut karena kalah taruhan dan menjadi pencerita pertama. Semoga saja kisahnya menarik untuk disimak.

••••••••••

Tahun 1856, Hinda Belanda.

Seharusnya mereka mendengarkan nasihatku untuk tidak bepergian selagi hujan turun karena daratan ini memiliki intensitas curah cukup tinggi daripada daratan lainnya. Pasti untuk reda memakan waktu yang lama. Namun, mereka sangat keras kepala sehingga pada akhirnya kami terjebak di desa terpencil di bawah kaki bukit. Sial, andai saja mereka menurut mungkin kami tak perlu susah payah berbagi ruangan.

Benar-benar merepotkan.

Mendadak dari arah samping seorang pemuda berkacamata bulat berjalan sambil menyodorkan gelas besar berisikan kopi hitam kepadaku. Dia sempat berceloteh perihal wajah kusutku juga penghiburan bahwa perjalanan kami tinggal separuh lagi untuk sampai ke Afdeling Mandailing.

Sungguh melelahkan telinga. Akan tetapi, Mau tak mau kuterima suguhannya dan menenggak kafeina itu. Setelahnya syaraf-syaraf tegangku mengendur sejenak. Aku lantas menoleh, mengucapkan terima kasih kepada John Si Kacamata Bulat. Kemudian, memberikan informasi mengenai Watson--- rekan kami---yang mengirimkan utusannya ke residen untuk melaporkan keterlambatan kami karena hujan deras yang sudah sepekan mengguyur desa ini.

Sementara itu, John dengan sungguh-sungguh berusaha memakan kudapan pemberian warga desa. Malang sekali, dia belum terbiasa menikmati cita rasa pangan lokal. Memang terlalu aneh mengajak pemula dalam perjalanan ekspedisi ke bagian utara. Apa lagi di sini tidak ada roti, susu, keju dan kawannya. Pasti bagi John ini sangat menyiksa.

John akhirnya menelan suapan terakhir dengan dorongan air kopi untuk menghilangkan rasa baru di lidahnya. Barulah dia membenarkan bahwa utusan Watson sudah pergi sejak kemarin. Perkiraannya hari ini sudah sampai di residen.

Semoga saja orang itu tidak terlambat. Kalaupun telat itu wajar karena medan perbukitan dengan tanah basah mustahil dilalui dalam sekejap.

Kalau begini rasa ingin bermalasan semakin kuat. Sial. Terjebak bersama tim pemula di desa minim prasarana benar-benar mimpi buruk. Ditambah teman-teman John menatapku dengan pandangan sinis bercampur jijik. Mungkin mereka baru melihat darah campuran bisa berbaur dengan darah murni. Menggelikan.

Benar, aku tidak menyangkalnya kalau separuh genetikku campuran dari berbagai ras dengan dominan ras Asia Timur. Karena itulah orang-orang merasa aneh dengan fitur wajahku yang terlihat seperti orang Asia, tetapi masih ada ciri khas orang Barat. Bagaimana menjelaskannya, ya? Mungkin rambutku memang cokelat, bermata biru agak sipit dan rahang tidak terlalu tegas. Begitulah. Bahkan aku masih memiliki marga dari keluarga ayah di kawasan Asia Timur. Terkadang selama ekspedisi bersama senior aku selalu dirundung karena tidak mendekati salah satu ras. Menyebalkan, kan?

Oh, kembali ke topik utama perihal ekspedisi yang dilakukan. Itu seputar penggalian artefak suku Batak juga barang-barang bersejarah lainnya dan kami berada dibawah naungan unit perlindungan kebudayaan pemerintah Netherlands.

Sebetulnya tidak terlalu sulit menggali barang temuan itu karena penduduk desa pasti menyimpannya. Namun, di desa ini aku sama sekali tidak melihat artefak keluarga atau barang-barang kuno yang dipajang di depan rumah. Biasanya di desa lain itu selalu ada. Aneh sekali. Apa mereka menyembunyikannya?

20 SesonWhere stories live. Discover now