23. Semakin Rumit

14 3 1
                                    

Satu sekolah digemparkan oleh foto Naren dan Kanaya yang tengah berpelukan di sebuah taman. Pelaku yang menyebarkan hal ini tak lain dan tak bukan adalah Rio. Laki-laki itu dendam, ia tidak terima jika hanya Rania yang tersalahkan di sini walaupun pada akhirnya ia mengaku yang tak seharusnya.

Jangan lupakan kejadian saat Rio mengungkapkan semuanya pada Rania kemarin, itu juga menjadi trending topik saat ini.

Atha memijat kepalanya, ia benar-benar pusing dengan kisah cinta teman-temannya. Di hadapannya saat ini juga ada Kanaya yang tengah ia introgasi. Bagaimanpun Kanaya adalah sepupunya, ia harus meluruskan masalah ini segera.

"Gue tanya sama lo, ngapain lo peluk-peluk Naren?"

Awal nada bicara Atha masih santai, hingga bermenit-menit setelahnya laki-laki itu mulai kehilangan kesabarannya.

"Jawab gue, Kanaya!" Atha menatap Kanaya dengan nafas memburu menahan emosi. "Gue tanya sekali lagi, ngapain lo peluk-peluk pacar orang?!"

"Bukan gue doang yang peluk dia! Tapi dia juga peluk gue, Atha!" Akhirnya Kanaya menjawab dengan emosi juga.

"Lo sadar gak sih, Nay? Kalau lo itu sumber masalah dari semua yang terjadi sekarang!"

Kanaya menatap Atha tak percaya. "Lo sebut gue sumber masalahnya? Sumber masalahnya itu Rania, bukan gue!"

Plak!

Tanpa sadar Atha menampar Kanaya hingga pipi Kanaya memerah karenanya. Suaranya juga cukup keras, untung saja di rumah itu hanya ada mereka berdua juga bibi. Suara itu tidak akan terdengar sampai dapur.

"Lo nampar gue, Tha? Lo lebih milih belain Rania-"

"Iya, gue belain dia. Emang kenapa? Lo gak usah muter balikin fakta di sini. Rania gak salah, tapi lo yang salah!"

"Gue gak salah!"

"Perasaan lo yang salah, Kanaya! Gue tahu, lo suka 'kan sama Naren? Jawab gue!"

Kanaya memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa menyangkal hal ini, ia memang mulai menyukai Naren dan itu adalah alasannya kembali. Tapi saat kembali, ia malah melihat Naren sudah memiliki seseorang yang dicintai setelah ibunya dan Alina.

"Kalau iya, emang kenapa? Itu hak gue, dan gue rasa itu gak salah."

Atha mengacak-acak rambutnya prustasi. "Kenapa baru sekarang, Nay?  Di saat Naren ngejar-ngejar, lo ke mana?"

"Lo kenapa sih selalu ikut campur urusan gue? Mau gue suka Naren pas kapan, itu urusan gue. Urus aja urusa lo sendiri."

Setelah mengatakan hal itu Kanaya pergi meninggalkan Atha. Kanaya benar-benar kesal pada sepupunya itu, ia rasa di wajahnya saat ini ada belas luka dari tamparan Atha tadi.

🥀

Hari sudah sangat sore, tapi Naren seakan enggan untuk beranjak dari tempatnya saat ini. Matanya sejak awal tidak berpaling dari nisan bertuliskan nama Alina itu.

Alina adalah teman sekaligus pacarnya dulu, sebelum ia menyukai Kanaya. Alina pergi karena mengakhiri hidupnya sendiri, itulah mengapa Naren takut hal yang sama terjadi pada Rania, mantan pacarnya itu sering menggunakan earphone tanpa mendengarkan lagu, dangat mirip dengan Alina dulu.

"Lin, di saat gue udah bisa nyari pengganti, kenapa semuanya jadi begini? Posisi lo udah tergantikan sama Rania, Lin. Cewek itu udah rebut perhatian gua. Kita sempet jadian, tapi berakhir kandas karena alesan yang gak jelas. Gue gak tahu, Lin, gue gak tahu gue salah apa," Naren menjeda ucapannya.

"Rania tiba-tiba ngajak putus, dan lo tahu? Kemarin Rio ngakuin semuanya, dia dan Rania ada hubungan lebih dari sekedar temen. Dan hari ini, foto gue sama Kanaya, orang yang pertama yang gue suka setelah kepergian lo, kesebar gitu aja. Gue bingung harus kaya gimana, Lin? Rio udah dukung gue buat deketin Rania, tapi dia sendiri malah nusuk gue dari belakang."

"Rania juga gak masuk sekolah hari ini, Lin. Gue gak tahu kenapa, tapi gue gak bisa bohong kalau gue khawatir sama dia. Apa yang harus gue lakuin sekarang? Gue bener-bener bingung."

"Kalau lo gak pergi, semuanya gak bakal jadi kaya gini, Lin ..." lirih Naren.

Tidak, Naren sama sekali tidak menangis. Itu sudah menjadi janjinya pada Alina, ia tidak akan menangis lagi di makam Alina.

"Gue pergi, ya? Bunda pasti khawatir. Gue juga mau cepet-cepet beresin masalah gue sama Rania."

Naren mulai berdiri dan perlahan meninggalkan tempat itu. Perasaan Naren setelah dari sana jadi lebih membaik, meskipun tak sepenuhnya baik. Ia masih terus memikirkan ucapan Rio, dan tentunya Rania. Tidak ada yang tahu-menahu tentangnya, gadis yang saat ini masih mengisi hatinya sangat tertutup bahkan tidak ada keterangan mengapa ia tidak masuk pagi ini.

Belum sampai setengah perjalanan, Naren sudah menghentikan motor yang ia bawa. Ia benar-benar tidak bisa fokus.

"Sial, Rania. Lo udah bikin gue sakit, tapi kenapa gue gak bisa berhenti mikirin lo?!"

Naren kembali menghidupkan motornya lalu segera pergi ke rumah Rania. Pikirannya tidak akan terasa tenang jika ia tidak memastikan keadaan mantan pacarnya itu.

"Bisa gak sih, Ran. Lo gak usah bikin gue khawatir kaya gini."

Naren melajukan motornya di atas rata-rata. Ia tak peduli resiko yang akan ia terima, yang terpenting baginya hanya mengetahui keadaan Rania.

Sedangkan di sisi lain, Rania memandang lesu Viona yang tengah mencoba menyuapi dirinya. Sikapnya waktu itu ternyata tidak membuatnya gentar.

"Ayo makan, biar kondisi kamu cepet pulih," ucap Viona.

Rania akhirnya membuka mulutnya meskipun ia tahu jika hanya dengan makan konsisinya tidak akan menjadi lebih baik.












Halo aku up lagi!
Gak nyangka masih ada yang suka cerita ini padahal udah hampir enam bulan aku tinggal. See you guys!

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang