22. Pengakuan Rio

15 3 1
                                    

Setelah perbincangannya dengan Atha, Rania kembali mencari Rio, laki-laki itu harus meluruskan semuanya.

Rania masih tidak habis pikir dengan apa yang Atha ceritakan, ia ingin percaya tapi di sisi lain ia tidak menyangka jika Rio berkata demikian.

Brak!

Rania membuka pintu uks secara kasar. Ia tahu jika Rio tengah mengobati lukanya di sana.

Pandangan mereka bertemu, tapi hal itu tidak berlangsung lama karena Rania yang mengalihkan tatapannya.

Di ruangan itu tidak hanya ada Rio, tapi ada beberapa petugas kesehatan yang berjaga.

"Beneran gak ada sopan-sopannya nih orang. Heh! Lo kira ini sekolah punya bapak, lo? Buka pintu yang sopan dikit!" tegur salah satu siswa yang merupakan salah satu petugas kesehatan.

Rania tidak menggubris ucapannya, ia memilih menghampiri Rio dan melewati para petugas begitu saja.

Para petugas kesehatan itu menatap Rania penuh kebencian, mereka tidak terima dengan perlakukan Rania terhadap Naren, padahal mereka sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Sementara Rio menatap Rania yang juga tengah menatapnya penuh emosi. Jujur, Rio bingung harua beraksi seperti apa.

Plak!

Satu tamparan sukses mendarat di pipi Rio, laki-laki itu sudah terluka oleh Naren, dan sekarang ia mendapatkan tambahan luka dari orang yang ia suka.

Bukannya marah, Rio malah nenatap Rania seperti orang tak berdosa. Hal itu membuat kemarahan Rania semakin memuncak.

"Apa yang udah lo ucapin ke semua orang? Kenapa lo ngarang cerita seolah-olah kita ada hubungan?" tanya Rania tanpa basa-basi.

Rania menatap Rio nyalang. "Lo kenapa sih, Ri? Gue gak nyangka lo bisa kaya gini. Kenapa lo lakuin ini ke gue? Sedangkan lo tahu apa aja yang udah gue alami! Kenapa Ri-"

"Karena gue suka sana lo, Rania Ananta!" Spontan Rio mengatakan hal itu. Itu benar, Rio menyukai Rania bahkan sebelum Naren menyukainya.

Kaliamat itu benar-benar mengejutkan Rania. Ah tidak, bukan hanya Rania tapi juga beberapa pengurus kesehatan yang menyaksikan pertengkaran keduanya.

"M-maksud, lo?"

Rio yang semula duduk kini berdiri. "Gue ulangi, gue suka sama lo. Bahkan jauh sebelum Naren kenal sama lo, Ran. Gue tegasin sekali lagi! Gue, suka sama lo, Rania Ananta!"

Rania menahan air matanya agar tidak jatuh, ia tidak menyangka akan hal ini. Semuanya semakin rumit setelah ia mengenal laki-laki bernama Naren dan juga Rio.

"Gak salah kan, gue ngakuin hal itu? Ngakuin kalau kita ada hubungan lebih-"

"Jelas salah, Ri! Lo bohong, dan itu sama aja salah," sela Rania cepat. "Lo gak mikirin perasaan gue, dan lo juga gak mikirin perasaan pacar lo sendiri!"

Mendengar hal itu Rio terkekeh pelan. Pacar? Yang mana? Kanaya? Ia bahkan tak yakin jika selama ini dirinya dan Kanaya benar-benar menjalin sebuah hubungan.

"Maksud lo siapa? Kanaya? Lo pikir gue sama dia beneran pacaran? Nggak sama sekali, Ran. Dan lo bilang apa tadi? Gue gak mikirin perasaan dia? Dia aja gak mikirin perasaan lo, Rania! Kanaya gak mikirin perasaan orang yang gue suka, yang gue cinta! Jangan lo pikir gue gak tahu apa-apa. Gue tahu semuanya, Rania! Naren, Kanaya dan lo di malam itu, gue liat pake mata kepala gue sendiri!"

"Lo pikir hati gue gak sakit liat orang yang gue suka dari lima tahun lalu nangis gara-gara temen gue sendiri? Gue relain li buat dia, tapi yang dia lakuin apa? Dia bikin lo sakit, Ran!"

Rio audah tidak bisa menahan semuanya. Secara terang-terangan ia mengatakan semuanya.

Rania memegangi kepalanya, kenyataan ini cukup membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Rania berlari menerobos orang-orang yang entah sejak kapan ikut memenuhi ruang kesehatan itu.

Pikirannya kalut, Rania benar-benar bingung harus berbuat apa. Semuanya terlalu mengejutkan, Rania tidak sanggup.

Kaki jenjangnya membawanya pergi ke toilet. Rania menatap wajahnya yang kini terlihat pucat dan berkeringat. Tak lama cairan berwarna merah terjun bebas dari hidungnya. Perlahan, pandangannya memudar dan gelap.

🥀

Viona tidak henti-hentinya menangis, Gio sampai kebingungan harus berbuat apa agar wanita yang dicintainya itu tenang.

"Sayang, tenang ya? Jangan kaya gini," ujar Gio seraya merengkuh tubuh Viona.

Kini keduanya tengah berada di rumah sakit. Viona sangat terkejut saat mendapatkan kabar bahwa calon  anaknya dikarikan ke rumah sakit setelah ditemukan tak sadarkan diri di toilet.

"Gimana aku bisa tenang? Rania ada di dalem sana, dan kamu tahu sendiri apa yang barusan dokter bilang, Rania mengidap leukimia!"

Viona semakin terisak. Meskipun Rania belum dan bukan anaknya, tapi ia sudah menyayangi gadis itu.

"Kamu gimana jaga Rania selama ini, Mas? Kenapa kamu gak tahu apa yang anak kamu alami? Bahkan penyakit seberbahaya ini kamu gak tahu?"

Gio makin mengeratkan pelukannya. Bohong jika ia merasa tidak bersalah. Rania itu adalah anak semata wayangnya. Ia benar-benar menyesal tidak bisa menjaga putrinya dengan baik.

"Maafin Papah, sayang. Papah gak becus jagain kamu. Tolong bangun, sayang. Kasih Papah kesempatan satu kali lagi, Papah mohon," batin Gio.

Sementara sanga dokter yang menangani Rania tersenyum miris melihat wajah pasiennya yang makin hari makin pucat. Dia Fera, dokter yang beberapa minggu yang lalu mengijinkan Viona menyamar sebagai dirinya.

"Kamu pantas bahagia di sisa hidupmu, Rania."











Halo!
Apa masih ada orang? Aku yakin gak ada, secara aku tinggal cerita ini berbulan-bulan lamanya. Aku ada keinginan buat tamatin cerita ini. See you di bab selanjutnya.

Setelah Badai RedaWhere stories live. Discover now