❀ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama

Start from the beginning
                                    

Xenna kontan memelotot. Perasaan malunya pun bertambah berkali-kali lipat. Namun, sebelum sempat ia melemparkan pembelaan untuk dirinya sendiri, tawa kecil yang lolos dari mulut Janu lekas menghentikannya. Seketika wajah Xenna berubah melongo lantaran tak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya.

Satu tangan Janu terulur, meraih cangkir teh di hadapannya. "Nggak papa, Om," lelaki berkacamata itu membalas penuturan Papa dengan nada tenang. Sepasang netranya lantas terarah pada Xenna seraya ia menambahkan, "Lagi pula, sudah jadi pemandangan biasa bagi saya saking seringnya." Perkataannya pun ditutup oleh lengkungan di bibir--yang lenyap seketika saat ia menyesap tehnya.

"Mas, ih ...." Perasaan sebal kembali melanda Xenna sampai membuat bibirnya maju beberapa senti.

Tanpa membalas dengan kata, sambil menaruh cangkir di atas piring kecil, Janu hanya memiringkan kepala sementara ekspresinya seolah berkata bahwa apa yang lelaki itu ucapkan merupakan sebuah fakta. Sialnya, Xenna tidak bisa mengelak sebab hal tersebut memang benar adanya. Entah sudah berapa kali Xenna menangis di hadapan Janu, gadis itu bahkan kehilangan hitungannya. Dan, pada akhirnya Xenna hanya mampu membuang muka, masih dengan bibir yang mengerucut. Dengkusan samar pun turut ia loloskan.

"Haduh, Xen, Xen," Papa menggeleng-geleng pelan, memandang anaknya tak habis pikir, "ternyata masih aja kayak bocah kamu, ada aja yang ditangisin."

Mendengarnya, Xenna pun meringis kecil. Pasalnya, Papa tidak tahu saja sebagian besar penyebab Xenna menjadi sering menangis akhir-akhir ini, dan rasanya mustahil juga jika Xenna membeberkan keseluruhannya pada Papa. Oleh karenanya, Xenna pun segera melirik Janu. Lelaki itu tanpa diduga memang tengah melihat ke arahnya juga, dengan sorot yang--sayangnya--tidak mudah Xenna artikan. Seraya menggigit bibir, Xenna berusaha sampaikan melalui tatapnya agar Janu tidak berbicara lebih jauh lagi.

Tampaknya, Janu dapat menangkap apa yang Xenna maksudkan. Sebab setelahnya, Janu tahu-tahu berdeham pelan usai memutus pandangannya pada Xenna. "Oh ya, Om," kata lelaki itu setelahnya, seketika berhasil menarik perhatian Papa, "tadi Pak RT juga berpesan supaya Om juga lebih berhati-hati lagi." Jeda sesaat. "Salah satu pelaku memang sudah tertangkap, tetapi siapa yang tahu kalau ternyata masih ada tersisa komplotannya yang lain. Rumah Om bisa aja jadi target mereka selanjutnya."

Papa manggut-manggut mengerti. Pria itu benar-benar langsung melupakan pembahasan mereka sebelumnya. "Yah, Om juga berpikiran seperti itu, Janu, setelah kamu cerita apa yang terjadi tadi. Apalagi Om sering pulang malam, dan rumah selalu kelihatan kosong karena cuma ada Xenna di dalamnya." Papa kemudian tampak berpikir sejenak dengan fokus yang berpindah pada Xenna. "Gimana ini, Xen? Apa nanti kita pasang CCTV aja, ya, biar bisa terus dipantau?"

Xenna mengerjap, agak tidak menyangka Papa turut meminta pendapatnya. "Aku terserah Papa aja. Kalau emang itu salah satu solusi terbaik, ya udah, Xenna ikut setuju."

"Hmm, oke. Nanti segera Papa urus kalau gitu. Tapi, kamu gimana, Xen?"

"Gimana apanya, Pa?"

"Ya, semisal terjadi hal kayak tadi lagi sementara kamu lagi sendirian di rumah, gimana? Atau, gimana kalau kamu tinggal sama Wira dan Renatha aja, Xen?"

Kedua alis Xenna pun lekas bertautan. "Loh, ngapain harus sampe tinggal sama Bang Wira segala sih, Pa? Xenna nggak mau, ah," Xenna menolak dengan cepat.

Lipatan segera tampak di dahi Papa. "Loh, kenapa nggak mau, Xen? Rumah abangmu sendiri lho, itu. Waktu itu aja kamu sampe nangis-nangis pas ditinggal nikah sama Wira, harusnya kamu senang dong, kalau punya kesempatan buat lebih dekat sama dia."

"Yaaa tapi bukan berarti Xenna pengen tinggal di rumahnya juga kali, Pa ...." Sejatinya ada beberapa pemikiran yang merupakan alasan mengapa Xenna menolak tawaran Papa tersebut. Namun, Xenna tak mampu mengungkapkannya secara gamblang, terlebih lagi salah satunya tengah berada di dekatnya sekarang. Karenanya Xenna pun lekas menoleh sekilas pada Janu, dan kembali berpaling sebab lelaki itu tengah menatapnya pula. Secuil rasa penasaran bahkan tampak bermain-main di wajahnya.

Memories in the MakingWhere stories live. Discover now