The Open Door - 4

Mulai dari awal
                                    

"Kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa. Karena kamarin hari pertamamu bekerja, saya tolelir kecerobohanmu tidur di kamar ini. Bekerjalah dengan baik. Ingat posisimu. Saya menerimamu karena terpaksa bukan karena menganggapmu pantas menggantikan asisten yang lama. Sekarang pergi dan suruh Mbok Imah datang ke kamar saya. Bilang kalau dia harus mengganti seprai dan membersihkan kamar mandi sekarang juga." Revian memutar wajahnya ke arah pintu, memberi isyarat agar Nadia keluar dari kamarnya. "Tunggu kabar dari saya. Hari ini kamu temani saya pergi. Jangan sampai ketiduran lagi."

Nadia mengangguk pelan. Senyumnya berusaha tersungging. Sudut hatinya seolah diremas kuat. Dia sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan tapi baru kali ini dia dianggap seperti mengidap penyakit menular.

Langkahnya gontai ketika menyusuri koridor. Mbok Imah yang kebetulan ditemuinya segera pergi ke lantai dua setelah memberitahu sarapan sudah siap.    Nadia bergerak menuju ruang makan. Ruangan itu sepi. Keberadaan Tante Lyana tidak terlihat di manapun.

Nadia menyeret salah satu kursi. Meraih roti dan mengolesnya dengan selai kacang dengan tangan bergetar. Dia tahu telah melakukan kesalahan dan pantas mendapat teguran. Roti isi di tangannya habis dalam waktu singkat. Untuk menghilangkan dahaga, diraihnya segelas air putih lalu meminumnya dalam sekali teguk. Dia ingin segera kembali ke kamarnya.

Waktu berlalu begitu cepat ketika sudah menunjukan hampir jam makan siang padahal Nadia merasa dia belum lama menenangkan diri di kamar.  Mbok Imah muncul, memberitahunya kalau Revian sudah menunggu di carport. Laki-laki itu meminta menemani pergi ke suatu tempat. Kebetulan Teddy sudah mengingatkannya kalau Revian ada jadwal makan siang bersama seseorang.

Revian melirik tajam, menunjuk dengan jarinya agar Nadia duduk di depan bersama Pak Adi ketika wanita itu tiba di carport. Pikirannya sudah lebih tenang dan segar. Dia bahkan telah memikirkan serangkaian aksi balas dendam. Rasanya menyenangkan bisa membalas hal yang dulu tidak bisa dia lakukan.

Entah kenapa Nadia berpikir ini bukan hari terbaiknya. Sesekali sudut matanya memperhatikan Revian di bangku belakang. Laki-laki itu bersikap layaknya raja, mengatur dan menunjuk sesuka hati. Pantas gaji yang ditawarkan Tante Lyana besar. Butuh ekstra kesabaran mempunyai bos seperti dia. Teddy mungkin sudah hapal tabiatnya hingga bisa bertahan menghadapi laki-laki itu.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah berlantai dua, besar dan megah di  kompleks pemukiman mewah. Nadia menurut ketika Revian turun dari mobil dan memintanya menunggu. Seorang perempuan berambut panjang keluar dari rumah itu. Revian menghampirinya dan memberi pelukan singkat.

"Itu Non Ziva. Teman kampusnya, Den Revian," kata Pak Adi. Dia pasti bisa membaca gurat keingintahuan di wajahku.

Mulut membentuk hurup O dan mengangguk pelan. Penampilan Ziva sangat menarik. Wanita bertubuh tinggi semampai itu mengenakan dress peach bercorak bunga di atas lutut dan cardigan panjang berwarna hitam. High heels terpasang sempurna di kakinya sementara tangannya menenteng tote bag cokelat keluaran salah satu brand terkenal berharga mahal.

"Ziva, kenalkan ini asistenku yang baru, Nadia." Nadia menoleh ke belakang, tersenyum ramah ketika Revian mengenalkan dirinya dengan wanita yang sejak tadi dikaguminya.

Ziva mengulurkan tangan. "Aku Ziva, teman kuliahnya Revian. Senang berkenalan sama kamu." Sambutan hangat wanita cantik itu tidak dibuat-buat. Kulitnya lembut dan harum saat menjabat tangannya.

Sepanjang perjalanan Nadia hanya diam. Dia pura-pura mengalihkan perhatian ke luar jendela. Obrolan kedua orang di bangku belakang tak urung menganggu bahkan mengusik rasa penasaran. Sikap Revian berubah seratus delapan puluh derajat. Senyumnya tidak berhenti mengembang. Sesekali pembicaraan keduanya diselingi derai tawa. Meskipun perlakuan yang dia dapat sebaliknya, Nadia berharap mood bosnya tetap begitu. Selama bisa terhindar dari omelan, terlihat seperti pesuruhpun biarlah.

The Open DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang