Part 3 - Yang Terpendam

Start from the beginning
                                    

"Gimana kuliahnya de ?"

"Kuliahnya bikin rambut Yumna botak Kak"

"Diih, over !"

"Kak spesialis syaraf itu lebih pusing dari pada spesialis bedah jantung kayak Kakak"

"Semua sama kalo kamu belajar nya penuh semangat dan sungguh-sungguh"

"Hmm kadang Yumna bingung kenapa Abi nyuruh Yumna jadi dokter padahal bakat Yumna dominan di bidang seni"

"Terima nasib aja, kita lahir dari keluarga dokter dan di tubuh kita mengalir darah para mendiang dokter yang melegenda"

Yumna hanya bisa menghela nafas sambil memajukan bibirnya. Membuat Riyaz terkkeh geli dan mengacak rambut adiknya.

"Kaaak..." dengan nada manja.

"Apa lagi ?"

"Kok Yumna tiba-tiba pengen Sup Durian yah ?"

"Beli aja"

"Beliin.." sambil memasang wajah memelas.

"Jadi Kakak harus nyari Sup Durian ? Malem-malem gini ??"

"Oh jadi Kakak mau adik Kak Riyaz satu-satunya ini digodain cowo-cowo genit di luar sana ?"

"Gak !!" Yumna tersenyum geli melihat respon Kakaknya.

"Iya Kakak beliin, daripada Kakak mesti mukulin cowo-cowo yang godain kamu, kan lebih ribet, kamu tunggu disini ya"

"Terbaik !!!" Yumna mengacungkan kedua jempolnya.

***

Caesha memandangi taman yang di depan rumah, dulu sekitar selama 2 tahun dia tinggal disini bersama neneknya, tepat setelah dia ditinggalkan Bunda nya nenek langsung membawa Caesha ke Jakarta. Namun kondisi nenek yang sakit-sakitan karna umurnya yang semakin menua, Allah memanggil nenek untuk menemani Luigina, bunda Caesha.

Caesha menyentuh besi dingin dari sebuah ayunan tua yang dulu sering dia mainkan bersama Bunda dan Neneknya. Dia duduk di ayunan itu sambil mengingat kenangan-kenangan indahnya, setetes air jatuh dari pelupuk mata coklatnya. Baru kali ini dia bisa menangis lagi setelah sekian lama hatinya mengeras.

"Nek..kapan Nenek menjemput Caesha ? Caesha rindu Bunda" gumamnya sambil memandang langit malam yang hitam kentara.

Dia menghembuskan nafas beratnya sambil menutup matanya yang otomatis menjatuhkan air mata yang sedari tadi menggenang.

"Permisi Nona Caesha ??" Sontak Caesha membuka mata, keningnya bertaut melihat beberapa pria berpakaian formal di depannya.

"Siapa kalian ??"

"Kami mendapat perintah untuk menjemput Non Caesha malam ini"

Disaat itu Caesha langsung menyadari bahwa mereka pasti anak buah dari ayahnya.

"Tuan kalian..dimana dia ?"

"Dia sedang menunggu di mobil" Caesha melirik mobil mewah yang terparkir di depan rumahnya, dia langsung tersenyum asimetris lalu menatap tajam pada anak buah ayahnya.

"Katakan pada Tuanmu, aku menolak"

"Tapi Non..Pak Devan menyuruh kami menjemput Non Caesha tanpa ada penolakan" terdengar kekehan meremehkan dari Caesha.

"Wow..siapa dia berani memaksaku ?? Katakan padanya..aku tidak akan pergi dari sini..tidak akan pernah walaupun dia memohon sambil menciumi lututku"

"Caesha !" Devan datang menghampiri putrinya dan disuguhkan tatapan menusuk dari Caesha.

"Untuk apa seorang presdir dari hotel terbesar di Asean meluangkan waktunya dengan menemuiku malam-malam seperti ini ?"

"Ayah kesini bukan sebagai seorang presdir, melainkan sebagai Ayah yang mengunjungi putrinya, dan cepat kemasi barangmu sekarang juga, kau akan tinggal bersamaku"
Caesha tertawa dipaksakan sambil menatap mengejek pada ayahnya.

"Terimakasih atas tawaranmu Pak Devan, sayang sekali aku tidak tertarik, jadi sebelum aku mengusirmu kau bisa pergi sekarang, kau pasti tau jalan keluar kan Presdir ?" Caesha langsung melangkah memasuki rumah.

"Keras kepala, persis Luigina" Mendengar nama Bunda nya disebut Caesha langsung menoleh.

"Jangan sebut nama Bunda ku dengan mulut busukmu itu"

"Kenapa ? Salahkah Ayah menyebut nama Bunda mu ?"

"Berhenti menyebut diri mu sebagai Ayah ! Kau..sangat tidak layak disebut sebagai Ayah" Emosi yang sedari tadi dia tahan akhirnya mulai tak terkendali.

"Ayolah Caesha..ini sudah malam, cepat kemasi barangmu, kita bicarakan ini di rumah, oke ?"

"Kenapa kau tiba-tiba seperti ini ?" Setelah diam sejenak, Caesha pun menyahut "Kenapa kini kau begitu peduli padaku ? Kemana saja kau selama 23 tahun ini ? Aku begitu memelas perhatian padamu dan apa yang ku peroleh ? Kau bahkan belum pernah memberi perhatian padaku, menanyai apapun tentangku atau bahkan melirik sebentar saja, pernahkah ? Bahkan sekarang aku sudah tidak mengharapkan figur seorang ayah, memikirkannya pun membuatku muak ! Dan sekarang, atas dasar apa kau jadi peduli padaku !"

Rahang Devan mengeras mendengar penuturan putrinya, dia mengusap wajahnya mencoba menetralkan emosinya.

"Caesha...coba pikirkan kembali tawaran Ayah, kita tinggal bersama, Ayah akan mencoba untuk menjadi Ayah yang baik untukmu"

"Aku tidak sudi menginjakkan kaki di rumah yang sama denganmu Devan, sekarang pergilah" ucapnya dengan penekanan pada tiap kosa katanya.

"Rupanya darah Luigina mengalir kental pada tubuhmu, melihatmu seperti melihat Luigina, aku kesini hanya kasihan pada kondisi mu yang yah kau pasti tau itu, tapi sayang, sifatmu membuat dirimu tak pantas di kasihani Caesha" nada bicara yang tadinya hangat kini mulai mendingin.

"Pergi" suaranya parau seperti ada yang tercekat di tenggorokannya.

"Ya aku akan pergi, dan tentu kembali menjadi Devan yang dulu, Devan yang tak pernah melihatmu, ini sesuai permintaanmu Caesha, ah ya walaupun aku mulai sedikit peduli seperti ini, aku tetap saja menganggap kau dan bundamu sebagai kesalahan dalam hidupku, camkan itu, Nak"

Devan beserta anak buahnya pun pergi meninggalkan Caesha yang mematung tanpa ekspresi. Matanya menatap tajam pada mobil yang sudah mulai menjauh dari rumahnya.

Pipi putih nya mulai dijatuhi tetesan airmata saat kata-kata ayahnya terngiang di telinganya, kata-kata yang selalu ayahnya ucapkan tiap kali pertengkaran dengan Bunda terjadi, kata-kata yang selalu membuat Bunda menangis di belakangnya, kata-kata yang menyatakan bahwa Lui dan Caesha adalah sebuah kesalahan.

Tangisnya mulai tumpah, tangisan karna emosi yang terpendam juga kebencian yang begitu membara pada ayahnya, namun yang membuat Caesha kesal yaitu tiap kali dia melihat ayahnya kemarahan yang meluap-luap itu seketika raib, apa yang dia katakan bertolak belakang dengan hatinya, dia sangat ingin sekali berkata 'iya' dan pergi tinggal bersama ayah, melihat ayah dan memeluk ayah tiap harinya. Hasratnya selalu terhalangi oleh kebenciannya, membuat Caesha hanya bisa menangis pilu di bawah langit kelam.

"Ayah..bunda.." desisnya sambil menepuk-nepuk dadanya, seolah mengadu pada gelapnya malam akan kesakitan yang dia rasakan.

Tubuhnya tiba-tiba terjatuh diatas rerumputan taman, tangannya memegangi lehernya yang mulai tak bisa menyalurkan oksigen ke paru-parunya. Tangannya mencengkram bawah baju nya dan urat-urat di wajahnya kini timbul mengeras seolah menahan sakit yang begitu pedih, sakit yang bahkan kematian pun tak bisa menyembuhkannya. Dan tanpa Caesha sadari, seseorang kini tengah menatapnya dari kejauhan, matanya menyiratkan bahwa dia ikut merasakan apa yang Caesha rasakan.

Voment diperlukan ^^

Past MistakesWhere stories live. Discover now