Mimpi Buruk

371 43 56
                                    

Ia terkaget mendapat dirinya di sebuah ruangan gelap gulita. Tak seberkas sinar pun masuk di dalamnya. Tak ada sedikit pun suara menembus dindingnya yang tebal. Tak ada apapun yang mengikat tangan, kaki maupun anggota tubuhnya yang lain. Tapi ia berdiri kaku. Bahkan mulutnya pun tak bisa mengeluarkan suara.

Tapi telinganya awas mendengar sesuatu sedang mendatanginya. Sesuatu yang tak dilihatnya namun terasa mengancam nyawanya. Suaranya perlahan mendekat. Dari langkah-langkah kecil yang terdengar di kejauhan hingga perlahan berubah menjadi suara gemuruh. Kengerian terasa berkecamuk di udara.

Ia merasakan suara itu mencekiknya. Ia berteriak sekencang-kencangnya namun tak ada sedikitpun bunyi yang keluar dari mulutnya. Ia berusaha bergerak namun tak bisa. Suara itu terus mencekiknya dan membuatnya kesulitan bernapas. Tapi ia masih mencoba untuk berteriak. Dan berhasil.

"Ibuuuuuuu ........"

Suara Arung yang berteriak terdengar hingga ke kamar ayah dan ibunya. Ibunya, Indri, segera berlari ke kamarnya. Ia melihat Arung berjuang mengatasi ketakutan yang tak bisa dilihatnya. Segera saja ia menggoyang-goyangkan tubuh putranya itu dengan keras demi membangunkannya dari mimpi buruk.

"Arung! Bangun, Nak!"

Arung terengah-engah mendapati dirinya dengan keringat deras membasahi sekujur tubuhnya. Ibunya menatapnya tenang dan mengusap dahinya.

"Kamu mimpi buruk lagi?"

Arung masih belum sadar sepenuhnya. Matanya masih nanar menatap sekeliling. Ia mencoba memusatkan penglihatannya pada benda-benda yang dikenalnya selama bertahun-tahun. Poster Chairil Anwar yang dibingkai rapi dan terpasang di dinding, tumpukan buku-buku yang berserakan di rak, juga koleksi topi-topinya yang juga belum sepenuhnya rapi di sudut yang lain.

Ibunya memegang lembut tangannya dan membuatnya tersadar sepenuhnya.

"Ibu ambilkan kamu minum dulu ya?" Arung mengangguk pelan.

Arung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak terdengar jelas.

"Kamu bilang apa, Rung?" Arung gelagapan melihat ibunya sudah duduk di sampingnya.

"Ah tidak apa-apa, Bu. Mungkin aku lagi capek aja." Ia mencoba tersenyum menatap ibunya. Indri memandang anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih.

"Ya kalo lagi capek, istirahat atuh. Ibu sama Ayah kan weekend ini mau jenguk oom Anton di Bandung. Sekalian aja kamu ikutan kalo mau."

Arung menggelengkan kepalanya. "Weekend ini anak-anak lagi ada pelatihan buat mahasiswa baru di jurusan, Bu. Aku udah okein jadi panitia."

Indri tersenyum. "Ya sudah kalo gitu. Tapi kamu nggak mau cerita ke Ibu kalo kamu tadi mimpi apa?"

Arung menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Mimpiku absurd, Bu. Aku nggak tahu gimana jelasinnya. Tapi mungkin cuma mimpi, nggak ada arti apa-apa juga."

Indri menatap mata anaknya lekat. "Tapi mimpi mungkin juga bukan sekedar mimpi, Rung. Kamu tahu kan itu. Kalo kata Carl Jung, mimpi itu sebenarnya mengungkapkan keadaan bawah sadar melalui bahasa simbol dan metafora. Jadi kalo absurd ya emang gitu."

Indri dan Arung terkekeh nyaris bersamaan. Arung menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ibunya menatap jarum jam di dinding. Sudah pukul 03.15.

"Ya sudah, kamu lanjut tidur dulu. Ibu mau tahajud sekalian, mumpung masih bisa."

Indri meninggalkan Arung yang kini sudah beranjak menuju kursi di depan meja belajarnya. Otaknya berpikir keras, dahinya tampak menegang. Arung masih tak habis pikir mengapa sudah 3 malam ia diserang mimpi yang sama. Apa maksud dari semua mimpi itu?

Arung menatap kalender duduk di mejanya. Tiga hari lagi tanggal 5 Maret 1998. Arung dan teman-temannya yang menjadi perwakilan dari mahasiswa Universitas Indonesia dijadwalkan bertemu Fraksi ABRI untuk menyuarakan penolakan laporan pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, Soeharto.

Tiba-tiba ia merasakan perutnya bergejolak. Sensasi nyeri muncul begitu saja. Arung selalu merasakan itu ketika mengalami kecemasan. Tubuhnya memberi peringatan dini bahwa akan terjadi sesuatu. Kali ini sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya akan terjadi.

Air minum di gelas yang dibawa ibunya tadi sudah diteguknya hingga habis. Sejenak ia merasakan kelegaan ketika air hangat menyirami tenggorokannya yang terasa kering usai berteriak kencang dalam mimpinya. Tapi sensasi nyeri di perutnya belum lagi berhenti. Kini Arung juga merasakan jantungnya berdegup kencang. Kedua telapak tangannya tiba-tiba berkeringat. 

HARI KE-40Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum