🍃 19 - Teman Lama

180 34 4
                                    

19 - Teman Lama


Ardan tak tahu kenapa ia harus kembali mendapat pasien yang tidak diinginkan.

Menghela nafas sabar ia mencoba bersikap profesional. Baru dirinya akan buka suara, si pasien sudah lebih dulu bicara.

"Bisakah kita membicarakan hal pribadi di ruangan ini?"

"Tidak bisa." Ardan menolak tegas. Tak ada hal pribadi yang boleh dibicarakan antara dirinya dan pasien ini. Entah di ruangannya maupun di tempat lain. Ardan menolak.

"Tapi kita perlu bicara, Ardan."

"Kalau tidak ada keluhan dengan kesehatan anda, silahkan keluar. Masih banyak pasien lain yang harus saya periksa."

Si lawan bicara mengangguk, mengambil secarik kartu nama dari dompet lalu menyimpannya di meja.

"Tentang perselingkuhan gue sama Feli 5 tahun lalu, pernikahan kami 4 tahun lalu dan perceraian kami 2 tahun lalu---"

"Saya sudah tahu semuanya, jadi anda tidak perlu lagi membahasnya, Aresh!" potong Ardan cepat.

"Enggak. Lo cuman tahu kalau gue sama Feli ngehianatin lo karena memang itu yang harus kita tunjukin saat itu. Banyak hal yang belum gue jelasin ke lo, Ardan. Satu yang pasti, gue mencintai Feli tapi Feli gak pernah mencintai cowok lain selain lo."

Aresh mengantongi dompetnya lalu berdiri. "Hubungi gue kalau ada yang mau lo tanyain." Ia berbalik, melangkah pergi meninggalkan Ardan yang kini terdiam di tempatnya.

****

Terhitung sudah tujuh hari mereka tidak kontekan. Resya berubah. Ia yang dulunya akan mengerjakan tugas mepet-mepet deadline sekarang justru yang paling rajin memeriksa tugas-tugas itu. Setiap hari berjibaku dengan laptop dan buku. Sebisa mungkin Resya menyibukan diri dengan berbagai tugas kuliah yang bahkan deadlinenya masih lama.

"Jangan maksain diri kaya gini, Ca." Arkha datang dengan sebotol minuman isotonik di tangan, membuka tutupnya lalu menyerahkannya pada Resya.

Ia duduk di samping Resya, mengintip laptop gadis itu lalu berdecak sebal. "Ini 'kan deadlinenya minggu depan, ngapain lo kerjain sekarang sih?"

"Biar keren."

Jawaban ngaco itu membuat Arkha membeo bingung. "Hah?"

"Biar keren. Biar gue kelihatan sibuk. Anak kuliah 'kan emang harusnya sibuk belajar sama ngerjain tugas, Kha."

"Ya tapi gak sampe malam juga, Caca. Lo lihat, kafenya bentar lagi tutup dan lo masih anteng di sini. Ngabisin kuota wifi aja tahu gak lo!"

"Oh udah mau tutup ya? Ya udah deh gue lanjut di apartmen aja." Ia segera membereskan barang-barangnya. Memasukan buku-buku berserakan ke dalam tas. Tapi kegiatannya terhenti saat Arkha menahan tangannya.

"Gue gak suka lo yang kaya gini, Ca." Tatapan tajam Arkha membuat Resya bingung.

"Maksud lo?"

"Please ... jangan berubah cuman karena om Aresh. Dia gak pantes lo tangisin tiap malam, Ca!"

Resya diam. Tak membantah atau balik memarahi Arkha dan itu semakin membuat Arkha kesal. Ia sengaja mencari masalah dengan Resya berharap gadis itu mengomelinya, berharap gadis itu kembali ceria. Arkha tak suka Resya yang tenang begini. Arkha tak suka saat tahu Resya masih saja menangisi pamannya yang kurang ajar itu.

"Ayo omelin gue! Jangan berubah Ca, gue kangen omelan lo."

"Ck, gue gak berubah, Arkha. Gue cuman lagi capek aja makanya males ngomel. Tar deh kalau gue mood, lo gue marahin."

Om GantengWo Geschichten leben. Entdecke jetzt