Sing mengikuti laki-laki bernama Park Jisung itu. Bagaimana suasana Siang itu cukup sunyi dan sepi, bahkan Sing tidak melihat siapapun sepanjang laki-laki itu berjalan menuruni tangga.

"Tempat ini besar dan luas. Namun, cukup sepi."

"Saat siang, mereka memilih untuk bersembunyi ataupun pergi keluar dan hidup diantara manusia. Karena pada dasarnya kebanyakan dari kami adalah manusia normal sebelumnya."

"Jadi, jangan anggap. Kau satu-satunya yang malang dan menderita." ujar laki-laki bernama Park Jisung itu.

"Gunakan ini." Park Jisung memberikan sebuah jubah hitam yang memiliki tudung untuk menutupi kepala.

"Sekarang kau bukan manusia, cahaya matahari dan panasnya siang dapat membuat mu terluka, namun tidak akan membunuh mu. Jadi, lebih baik gunakan saja. Lagipula, kau terlihat begitu pucat." ucap Park Jisung.

Sing mengenakan jubah hitam itu, dan menutupi kepalanya dengan tudung.

Mereka memilih untuk keluar dari area yang terlihat seperti kastil kerajaan yang besar dan megah itu, pintu gerbang dan kastil pun terlihat cukup jauh.

"Kau ingin makan apa?" tanya Jisung.

"Bisakah kita pergi ke rumah ku? Mungkin saja, ibuku tengah mempersiapkan pemakaman ayah ku? Apa itu boleh?" ujar Sing.

Park Jisung mengangguk mengerti. Bagaimana itu bukan permintaan yang berat, dan dirinya masih bisa mengawasi Sing.

Mereka berjalan berdua melewati setiap sudut kota yang damai dan tenang hari itu.

"Hei, Sing. Bagaimana jika kau memakan pizza itu, sepertinya enak. Karena cukup ramai." ujar Jisung. Laki-laki itu menunjukkan restoran pizza kepada Sing.

Namun, terlihat Sing tidak tertarik, "Aku sedang tidak ingin makan. Aku hanya ingin melihat kondisi ibuku." ujar Sing.

Park Jisung paham posisi Sing sekarang.

Mereka terus berjalan disepanjang jalan melewati orang-orang yang juga berjalan.

Akhirnya keduanya tiba disebuah rumah besar, dimana cukup ramai di luar.

"Ramai sekali." ucap Jisung. Laki-laki itu juga melihat beberapa orang terlihat tengah menangis tersedu-sedu.

"Sepertinya ayahmu sangat dicintai oleh orang-orang, namun kenapa dia menjual mu kepada Ayah kita?" ucap Park Jisung.

"Ayah kita? Siapa? Vampir yang sudah membunuh ayah ku? Iblis itu?" Suara Sing berubah. Tatapan laki-laki itu juga berubah.

"Kau pantas membencinya, aku juga. Namun, tidak ada yang bisa kita perbuat, bukan?"

"Permisi." Seseorang melewati keduanya. Seseorang yang menutupi kepalanya dengan kain putih itu juga melewati kerumunan.

Sing baru menyadari sesuatu, "Bau ini. Yuna?" Sing mengenal betul bau tubuh Yuna dari wangi-wangian yang menjadi pengharum tubuh perempuan itu.

Sing hendak berjalan maju dan berteriak memanggil sosok Yuna yang kini telah menghilang di balik kerumunan orang-orang.

Park Jisung menahan Sing untuk tidak gegabah. "Jangan bodoh, tetaplah menunduk. Aku memberimu kesempatan tidak untuk kau nodai!" ucap Park Jisung.

"Namun, aku merindukannya." ujarnya.

Park Jisung menarik pergi Sing dari kerumunan itu dan mengajaknya untuk naik ke atap rumah hanya dengan sekali loncatan.

Sing yang tiba-tiba ada di atap rumahnya dengan sekali loncat itu terkejut.

"Bagaimana bisa?"

"Aku akan memberikan mu kesempatan untuk melihat mereka dengan lebih jelas. Namun, dari atas sini." ucap Park Jisung.

Sing mencoba untuk mengatur keseimbangan agar laki-laki itu tidak melorot jatuh kebawah.

Park Jisung dengan cepat memegang lengan Sing. "Tenanglah. Jika kau tenang, kau akan seimbang."

Sing menarik napasnya yang terasa berbeda. "Aku masih bisa bernapas? Namun, rasanya aneh." ujar Sing.

"Apa itu kekasih mu?" Jisung menunjuk seorang perempuan yang baru saja masuk melewati gerbang.

"Yuna..."

"Ibu!" Yuna memeluk seorang perempuan yang berjalan pelan-pelan mendekati Yuna.

Keduanya mampu mendengar suara yang sedikit jauh itu.

Mata Sing berkaca-kaca. Laki-laki itu tidak bisa melakukan banyak hal saat ini.

"Aku sangat menyayangi kedua perempuan itu. Namun, saat ini, bahkan aku tidak bisa mendekati mereka dan bahkan memeluk mereka." ucap Sing.

Park Jisung menoleh dengan cepat, matanya terbuka dengan lebar.

"Kita harus segera kembali." ucap Jisung.

"Bisakah sedikit lebih lama?"

"Sing! Kita harus kembali, atau kita tidak akan bisa keluar lagi! Ayah telah datang, sebelum dirinya mengetahui kau tidak ada di rumah, sebaiknya kita kembali." jelas Park Jisung.

Namun, dari tatapan Sing yang masih melihat kedua perempuan itu menangis dan memeluk sama lain, menandakan Sing masih tetap ingin disana.

"Sing!"

"Namun..."

"Kita akan kembali nanti!"

Park Jisung tidak membutuhkan persetujuan dari Sing.
Segera dirinya membawa Sing dari sana dengan cepatnya.

****

Park Jisung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Park Jisung

****

Jangan pergi, ya? Tetaplah bertahan sampai ending 🌻


***

Mohon maaf untuk cacat logika dan kepenulisan dari cerita ini🌻

Vampayeer || Xodiac ✅Where stories live. Discover now