Di kantin, Vanya sama sekali tak melihat batang hidung laki-laki itu. Sudah tahu kebiasaan mereka membuat Vanya langsung berlari menuju gudang belakang sekolah.

"Baru sampe, dari tadi kemana?" Tanya Gavin dengan sikap angkuhnya.

"Aku bawa bekal, jadi nggak ke kantin," Kata Vanya menunduk.

"Alahh, alasan lo!" Sahut Alex menyepelekan Vanya.

"Bilang aja lo gak mau kita suruh-suruh, iya kan?" Lanjut Marvel.

"E-enggak, aku beneran bawa bekal," Gavin berdiri lalu mendekati perempuan itu.

Rambut panjang Vanya ditarik kuat olehnya. Vanya hanya meringis meratapi nasibnya selama ini. Sakit.

"Gak inget sama tugas lo?" Tanya Gavin dingin.

"I-inget," Lirih Vanya yang takut menatap Gavin namun jambakan orang itu memaksanya untuk menatap.

"Udah lah Vin, langsung aja," Mendengar ucapan Juna membuat Gavin memaksa agar badan Vanya jongkok. "Buru, Rel."

Farel berjalan mendekati Gavin dan Vanya. Ia memutari sebentar tubuh gadis itu. Setelah sampai di belakangnya, Farel memakaikan rantai anjing ke leher Vanya.

Ketika rantai itu tak sengaja Farel tarik ke belakang, Vanya sempat tercekik. Ia bahkan sampai menahan rantainya agar tidak terlalu mencekiknya.

Gavin melepas jambakan. Tanpa Vanya duga, laki-laki itu menendang perutnya hingga Vanya terjatuh ke belakang.

"Mau dihukum apa?" Tanya Marvel menatap Vanya yang sedang dipaksa merangkak oleh Farel.

"Bawa ke club aja," Celetuk Alex. "Yang ntar kobam duluan, wajib unboxing dia."

"Gila, serius kita main unboxing-unboxingan?" Tanya Juna.

Alex memicingkan mata lalu terkekeh, "Gak usah sok polos gitu lah, Jun. Liar aja kali di hadapan jalang satu ini."

Farel membawa Vanya kepada teman-temannya. Dia masih sama, merangkak mirip seperti anjing yang sedang dibawa jalan-jalan oleh majikannya.

Dibelakang Vanya, Gavin menendang pantat perempuan itu kasar. Vanya memejamkan mata merasakan semua ini.

Di depan Vanya, Alex, Marvel, dan Juna tertawa lepas. Belum lagi kata-kata yang mereka lontarkan sangat menyakiti mental Vanya. Itu pelecehan.

"Heh Jalang, lo mau kan ntar malem ikut kita ke club?" Tanya Alex menarik rambut Vanya agar kepala gadis itu mendongak ke atas.

Laki-laki disini emang brengsek semua. Gak ada moralnya sama sekali. Begitu-begitu Vanya tidak bodoh, dia menggeleng sebagai jawaban menolak ajakan Alex.

Spontan Juna serta Marvel menendang lengan Vanya hingga seakan-akan Vanya bersujud di atas sepatu Alex. Disitu lah, air matanya mulai menetes. Mentalnya hancur dan itu hanya Vanya yang tahu.

Flashback end.

Vanya mengusap air mata yang bisa-bisanya keluar tanpa izin. Bayangan perempuan itu berkeliaran dimasa menyakitkan beberapa tahun lalu.

Mendadak ia berpikir, bagaimana kalau di Jakarta ini Vanya dipertemukan lagi oleh mereka? Apa yang akan Vanya lakukan?

Lalu, mengingat tentang keluarganya juga membuat Vanya menangis kembali. Sungguh, hidupnya dibuat seperti nano-nano.

"Vanya?" Lirih seseorang dari belakang.

Walaupun sudah lama tak mendengar suara-suaranya, Vanya tetap kenal dengan suara ini. Dia berdiri, lalu memutar badan ke belakang.

Deg.

Bagaimana orang itu bisa menemukan Vanya disini?

•••••

"Ne-nek, Ma-mama ke-ke-kemana?" Tanya Elen sudah bosan bermain dengan Ayumi.

"Sebentar lagi Mama pulang. Emangnya Elen gak suka ya main sama Nenek?"

Tidak menjawab, Elen hanya menunduk. Dia butuh sosok Vanya. Walaupun Ayumi dan Vanya itu tak berbeda jauh namun naluri Elen akan terus membutuhkan sosok Vanya dari pada Ayumi.

"Halo Elen!" Seorang dokter datang ke ruangan Elen.

Ayumi mengulas senyum kepada orang itu. Tadi sebelum pergi, Vanya memberitahu Ayumi kalau akan ada dokter Chelsea yang datang mengecek kondisi Elen.

"Dokter Chelsea ya?" Tanya Ayumi membuat Chelsea menoleh ke arahnya.

Chelsea sempat berkerut kening karena baru melihat orang itu disini. Pikirannya berkata kalau dia adalah neneknya Elen.

"Oh, saya Ayumi, neneknya Elen," Ucap Ayumi memperkenalkan diri.

Mendengar hal itu membuat Chelsea mengangguk sambil tersenyum. Ternyata benar dia itu neneknya Elen.

"Oh neneknya. Maaf, sebelumnya perkenalkan nama saya Chelsea. Dokter yang ditugaskan khusus untuk terapi bicara Elen."

"Iya, dok," Ucap Ayumi ramah.

Masih tersenyum lembut, Chelsea kembali melihat ke arah Elen. Lagi-lagi anak kecil itu terlihat ketakutan.

Chelsea pun mendudukkan diri di tepi brankar. Ia memegang tangan kecil Elen yang tidak ada infusnya.

"Hai? Masih takut sama aku?" Tanya Chelsea lembut. Perlahan demi perlahan Elen mendongak. Chelsea tak tega, gadis kecil ini seperti ingin menangis.

"Jangan takut, kan kita udah berteman beberapa hari lalu," Ucapnya mengusap pipi Elen.

"A-aku e-eng-enggak ma-mau te-terapi," Ucap Elen sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Loh, kenapa nggak mau terapi? Kan terapinya sama aku."

"T-ta-takut," Cicitnya kembali menunduk.

Dibelakang Chelsea, Ayumi diam dan kadang tersenyum melihat interaksi Elen dengan orang yang bukan dari keluarganya.

"Boleh dokter peluk Elen?" Tanya Chelsea meminta izin. Elen mengangguk kecil.

Dipeluk lah tubuh kecil Elen, "Elen mau gak nanti setiap habis terapi dokter kasih coklat?"

Chelsea berbisik ditelinga pasiennya. Hitung-hitung sebagai bujukan agar dia mau terapi.

"A-apa i-itu co-coklat?" Jawab Elen bingung.

Spontan Chelsea melepas pelukan. Benarkan anak kecil ini tidak tahu apa itu coklat? Padahal setahu Chelsea anak kecil itu paling suka dengan coklat.

"Coklat itu makanan manis yang rasanya enakkk banget. Elen mau?"

"B-boleh?" Cicitnya.

Chelsea mengangguk cepat, "Boleh. Tapi habis ini Elen harus terapi dulu sama dokter, mau??"

Dengan ragu, Elen mengangguk. Chelsea tersenyum. Ia beralih lagi kepada Ayumi, berkata kepada wanita itu kalau nanti malam adalah jadwal pertama Elen terapi.





Bersambung.

Vanya ketemu siapa sih, kok kaget banget kayak e.

Maaf ya 2 hari kemarin ga update. Bm banget kalo lagi ada masalah tuh.

Selamat hari sumpah pemuda👫🇮🇩

Mau vote sebanyak banyaknyaaa!!

28 10 23

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Where stories live. Discover now