9

20 7 0
                                    

Aku memegang perutku dengan bahagia. Aku bahkan berteriak kencang di luar setelah rasa lapar itu lenyap. Kedua tanganku mengepal dan aku meninju ke udara.

"Makanannya sangat enak," pujiku atas siapa pun yang memasak makanan untuk kami. "Kokinya hebat."

"Kau suka?"

Aku berbalik, menemukan Henry sangat dekat denganku. Aku mundur dua langkah. "Suka, Sir. Terima kasih sudah membawaku ke sini."

"Kau bisa datang lagi ke sini kalau aku tidak sempat membawamu. Katakan saja namaku pada manajernya. Dia akan membantumu."

"Namamu, Sir?"

Henry mengangguk pelan. "Restoran ini milik kakak perempuanku. Mereka semua mengenal adik pemiliknya. Dan sekarang mereka mengenalmu. Karena ini pertama kalinya aku membawa seorang gadis ke sini."

Aku mengerjap. Haruskah dia mengatakannya? Itu membuat perasaanku melambung tinggi. Aku dipenuhi dengan harapan, harapan yang bukannya membuat lega malah membuat takut.

Takut kalau pada akhirnya harapan itu sendiri yang akan menghancurkan aku.

"Benarkah? Aku gadis pertama."

Dia mengangguk dengan enteng.

"Aku kembali harus mengucapkan terima kasih. Terima kasih, Sir. Karena sudah menjadikan aku gadis pertama yang dibawa ke sini."

Aku mengitari pandanganku. Menatap sekitar dengan matahari yang tampak sudah lebih tinggi dari sebelumnya. Bahkan pihak restoran tampaknya akan segera membuka tempat itu.

Orang-orang akan ramai berlalu-lalang dan itu hanya akan memberikan ketidaknyamanan padaku. Jadi aku harus segera pergi dari sini.

"Sudah saatnya pertemuanmu, Sir. Ayo, kita harus pergi." Aku berjalan ke arah mobil. Hendak membuka pintunya, tapi tangan lain sudah mendahuluiku. Dan pemilik tangan itu berdiri tepat di belakangku.

Bisa kudugakan, jarak kami hanya setipis kertas sekarang. Aku hanya perlu sedikit bergerak dan panas tubuhnya akan sama dengan panasku. Tapi aku terlalu pengecut untuk melakukannya.

"Bukankah sudah waktunya mengubah nama panggilanmu padaku?"

Aku menatap sedikit ke belakang. "Ya?"

"Aku sudah bukan gurumu. Bukankah begitu?"

Aku mengangguk.

"Memanggil sir akan membuat aku selalu merasa kalau aku gurumu. Padahal kau tidak ada lagi di sekolah di mana aku mengajar. Jadi, bukankah sudah sewajarnya mengubah nama panggilanmu."

"Begitukah?"

"Bagaimana menurutmu?"

Sejenak berpikir, aku tentu saja setuju. Jika pun dia memintanya saat aku masih menjadi muridnya. Aku akan langsung setuju.

Hanya saja, aku tidak bisa langsung setuju padanya. Bagaimana pun, dia memintanya tiba-tiba. Jadi aku harus berpura-pura memikirkannya.

Meski saat ini, aku sungguh merasa bisa meledak karena terlalu bahagia.

"Tentu, aku setuju. Aku harusnya sudah mengubah nama panggilan. Ya?"

"Lalu nama apa yang akan kau berikan? Coba panggil."

Bola mataku bergulir ke kanan. Memikirkannya. "Mr. Marcus?"

"Kau bercanda?"

Aku berdiri di hadapannya sekarang. "Ya?"

"Panggil yang lain. Mr. Marcus dan sir sama saja. Itu namanya kau hanya mengubah namanya tapi tidak dengan arti dibaliknya. Aku tetap menjadi guru bagimu."

"Tapi, bukankah di dunia ini tidak ada yang namanya mantan guru?"

"Tahu. Aku hanya ingin mendengar kau memanggilku dengan namaku. Itu agar aku bisa meminta bantuanmu. Tapi kalau kau terus memanggilku seperti aku gurumu. Maka itu akan membuat aku sulit meminta bantuan."

Oh, jadi dia melakukan semua ini karena ingin meminta bantuanku. Untung saja aku tidak besar kepala lebih dulu. Untungnya aku mengatur perasaanku dengan benar.

Benar yang aku katakan, harapan pelan-pelan bisa membunuhku.

"Henry, bagaimana?"

"Panggil lagi."

"Henry?"

"Apa?"

"Kau yang meminta—"

"Soal bantuan yang aku katakan."

"Akan kulakukan. Apa pun itu, aku pasti melakukannya untukmu. Sebagai ucapan terima kasih untuk semuanya. Aku akan melakukannya untukmu, Henry."

"Bagus." Dia tersenyum penuh misteri.

Kemelut Cinta Bilqis Where stories live. Discover now