1

79 17 0
                                    

Gadis itu menyangga dagu dengan satu tangannya. Dia duduk di bangku panjang dengan meja yang juga sama sisinya. Di belakangnjya ada kaca besar yang memperlihatkan pemandangan banyak manusia pejalan kaki di sore kala itu.

Tatapan gadis itu mengarah ke satu objek, pria yang duduk di sebelahnya. Pria yang sedang sibuk menulis sesuatu di kertas. Entah apa yang ditulis pria itu, Bilqis tidak mau tahu.

Dia hanya mau waktu berhenti, hanya sampai dia benar-benar bosan menatap pria tersebut. Meski Bilqis sendiri tahu kalau dalam kamus hidupnya mengenai pria itu, tidak pernah mengenal yang namanya bosan.

Itu makanya, dia masih memandang satu objek yang sama bahkan setelah tahun ketiga berlalu dengan begitu saja. Yang berani Bilqis lakukan hanya menatap.

Bilqis mendekatkan wajahnya, menarik lebih kuat pipinya menempel di lengan. Memperhatikan wajah pria itu dengan seksama dan dia temukan tekstur yang sama. Tiga tahun tidak mengubah apa pun dalam penampilannya.

Bulu-bulu halus di dagunya memberikan kesan jantan tanpa dipurakan. Bibirnya penuh dan dengan alis berjejer rapi berwarna hitam. Berbanding terbalik dengan warna bola mata yang seperti awan mendung itu. Bola mata yang memberikan kesan penuh misteri padanya. Rahangnya tegas menandakan dirinya selalu mengikuti alur kehidupan. Apa yang menjadi aturannya, dia tidak akan melanggarnya.

Sayang, aturan itu salah satunya adalah tidak jatuh cinta pada muridnya dan tidak memberikan celah bagi sang murid untuk menaruh hati padanya.

Bilqis masih ingat kejadian dua tahun lalu, seorang siswi menyatakan cinta padanya. Di depan banyak orang. Perempuan itu berpikir, kalau menyatakan di hadapan banyak orang, maka hasil ditolaknya pasti tipis.

Pria itu menghargai perempuan dan lebih menghargai anak didiknya. Itu makanya, pemikiran itu terbesit di hati si perempuan. Sampai dia benar-benar melaksanakan niatnya, akhirnya, perempuan itu dikeluarkan dari sekolah. Dengan tanpa perasaan.

Sejak saat itu, tidak ada yang berani menunjukkan perasaannya pada si pria. Termasuk Bilqis sendiri. Dia lebih suka menyukai dalam diam. Itu menyenangkan, meski kadang ada kalanya memang melukai.

Pria itu mengetuk kertas. Bilqis mengerjap, menatap pria itu dengan fokus.

Pulpen hitam yang selalu dibawa pria itu mematok kening Bilqis, pria itu menegurnya dengan pulpen itu. Hal biasa yang sering dilakukan pria itu padanya kala pikiran Bilqis sedang melayang ke segala arah.

"Apa yang kau pikirkan, Qis? Dari tadi tidak mendengarku?"

"Maaf, Sir."

"Hmm, jadi bagaimana dengan kampusmu? Kau suka di sana?"

Bilqis mengangguk tanpa kebohongan. Dia memang suka. Meski tentu di kampus itu, tidak akan ada Henry Marcus yang bisa membantunya belajar, pun memberikan pukulan pulpen di kening.

"Kudengar kau tinggal di asrama?"

"Ya, lebih enak. Tidak ada aturan mama dan papa."

"Kau sangat benci diatur?"

"Tidak begitu, Sir. Tidak masalah mengaturku. Asal masih dibatas wajar. Papa dan mama sudah kelewat dari batas itu."

Henry tampak tertarik, dia meletakkan kedua sikunya di atas meja, kepalanya miring mendengarkan. Pakaiannya yang biasa berantakan kini tampak formal. "Katakan, bagaimana mereka mengaturmu."

"Kau sungguh ingin mendengarnya, Sir?"

"Hm-mmm."

Bilqis mengetuk dagunya pelan. Dia ragu hendak bicara. Tapi tidak ada salahnya memberitahu Henry kisahnya. Dia ingin tahu bagaimana pria itu menanggapinya. "Papa dan mama menjodohkan aku, padahal aku masih sangat muda."

"Benarkah?" Henry tersenyum lebar. "Mereka memikirkan masa depanmu."

"Kau sungguh berpikir demikian, Sir?"

"Tentu. Orangtua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Begitu pun orangtuamu. Aku yakin, siapa pun yang mereka pilihkan untukmu, itu yang terbaik bagi mereka."

"Kau benar. Tapi ada part gilanya."

"Hmm?"

"Mereka masing-masing memilih pria yang berbeda."

"Apa?" Henry tidak percaya.

Bilqis mengangguk dengan pelan. "Dua pria itu kini mulai ada di sekitarku. Mereka memberikan bayang-bayang yang begitu nyata. Aku tidak tahu, ini akan berakhir seperti apa. Tapi keduanya memiliki sifat dan sikap yang sama-sama menyenangkan."

Kemelut Cinta Bilqis Where stories live. Discover now