4

55 16 0
                                    

"Bantuan apa, Kak?" aku mendekat, tertarik. Mungkin saja baginya otakku akhirnya terpakai.

Aryan berdeham, dia menatap sekitar.

Apa dia akan menyampaikan sesuatu yang memalukan? Sampai dia harus memastikan tidak ada yang mendengar kami. Apa memang bukan soal pelajaran atau kelas tambahan? Padahal aku mengharapkan hal seperti itu yang akan dia bahas.

"Di kelasku, kelas sastraku, ada yang coba mendekatiku. Kau mungkin mengenalnya."

"Siapa?"

"Ratu kampus tahun ini."

Aku memicingkan mata. "Kakak serius menanyakannya? Soal mengenalnya, seharusnya semua orang yang mengenalku di kampus tahu jawabannya. Dia sahabatku."

Aryan meringis.

"Ada apa dengannya, Kak?"

"Dia mengajakku berkencan. Beberapa hari yang lalu, di depan teman-temanku. Dia tidak mengatakan padamu?"

Aku yang mendengarnya terkejut. Seharusnya kami tidak pernah menyimpan rahasia satu sama lain. Kami sudah berjanji untuk itu. Apa yang aku dengar sekarang? Menyatakan perasaan di depan banyak orang? Apa yang sedang coba dibuktikan sahabatku itu.

Ingatan kenangan saat seorang perempuan menyatakan perasaannya pada Henry dulu membawaku padaku rasa familier. Apa Holly berpikir, dengan menyatakan perasaan di depan banyak orang, Aryan akan terlalu malu menolaknya?

"Aku tahu, kau menyayanginya, bagaimana pun, dia sahabatmu."

"Apa yang harus aku lakukan, Kak? Kau ingin aku bicara dengannya dan menasihatinya?"

"Tidak. Aku mau kau mengatakan kalau aku dan kau sudah menjadi tunangan. Aku tidak bisa memberikan kesempatan untuknya."

"Apa yang kau katakan, Kak? Kita belum—"

"Mama sudah mengatakan padaku, mama tidak akan menerima menantu kalau bukan kamu. Kau tahu artinya, kan?"

"Apa artinya?"

"Bahwa aku tidak akan pernah punya istri kalau aku menolakmu."

"Mari bicara dengan mama kakak dan mama aku, Kak. Jelaskan ke meraka kalau—"

"Mama kakak keras kepala, Qis. Mama tidak bisa melawannya. Dia akan murka bahkan mungkin mencoret kakak dari kartu keluarga. Kau tidak tahu? Mama kakak adalah kepala keluarga di keluarga kami. Papa kakak saja tidak berani melawannya."

"Seserius itu, Kak?"

"Ya. Kalau kamu sudah berani bicara dengan mamamu dan mamamu setuju, maka kakak juga akan bicara dengan mama kakak. Jadi, kau mau bicara dengan mamamu?"

Seolah aku dipancing ke ujung jurang. Tadinya aku mau mengajaknya kerjasama bicara dengan mama. Tapi sekarang dia malah menyerahkan semuanya padaku. Aku memijit keningku.

Apalagi memikirkan Holly yang malah jatuh cinta pada kakak senior kami ini. Kenapa kerumitan ini tidak juga mereda? Malah benang merahnya menjadi lebih ruwet.

"Aku akan coba bicara dulu pada Holly. Aku mau tanya seserius apa perasaannya pada, Kakak."

"Semoga tidak seserius itu."

"Kakak tidak suka sama sekali dengan Holly, Kak? Dia baik, penurut dan dia juga—"

"Masalahnya bukan padanya, Qis. Melainkan aku. Keluarga kakak. Mama bukan orang yang mudah menerima kemauannya ditolak. Aku hanya tidak mau Holly terluka dalam perjalanan cinta padaku."

"Kakak memang selalu baik hati. Bilqis mengerti. Aku akan coba bicara dengan Holly dan mengatakan padanya soal hubungan kita. Itu kalau Holly benar-benar serius pada, Kakak. Baru Bilqis akan jujur, agar dia tidak terluka."

"Terima kasih, Qis. Kau selalu baik pada kakak. Terima kasih." Aryan meraih tanganku. Dia meremasnya. Aku yang melihat bagaimana tangan kami bersentuhan hanya bisa menatap hampa.

Andai saja pria yang ada di hatiku Aryan, mungkin segalanya akan mudah. Aryan akan selalu mengikuti kemauan mamamnya jadi kami pasti akan menjadi pasangan yang hebat. Mengingat kami berdua sama-sama tidak bisa lepas dari kekang wanita yang melahirkan kami.

Suara deheman menginterupsi kami. Tanganku dan Aryan terlepas. Kami berdua berdiri menatap kedatangan papa dan mama. Mereka menatap kami dengan cara yang berbeda.

Papa menatap kesal, memberikan mata mengancam pada Aryan.

Sedang mama matanya dipenuhi dengan bunga-bunga mekar.

Kemelut Cinta Bilqis Where stories live. Discover now