5

49 15 0
                                    

Aku hanya meringis menatap keduanya. Sampai detik ini aku masih tidak mengerti dengan cara pikir keduanya. Bagaimana bisa mereka menentukan nasib putrinya dalam pertaruhan dengan pria yang menurut mereka sama-sama terbaik.

Ya, mama dan papa taruhan. Siapa yang akan berakhir bersamaku. Mereka menjadikan putri satu-satunya sebagai lelucon.

Kalau aku hidup dalam lingkup keluarga normal, mungkin segalanya akan membuat aku tertekan, bahkan menderita. Tapi karena sejak kecil mama dan papa sudah bertindak seperti itu, aku jadi terbiasa.

Mereka bahkan pernah menaruhkan aku akan tidur dengan siapa saat kecil. Saat itu keduanya sedang bertengkar hebat dan memilih pisah ranjang.

Akhirnya aku tidur sendiri.

Mereka juga pernah, karena salah paham harus memakai mobil yang berbeda ke sebuah pesta. Pada akhirnya setengah perjalanan aku ikut dengan mama dan setengahnya lagi, aku naik mobil papa.

Rasanya menjadi anak tunggal, tidak hanya kesepian tapi malah terus dijadikan bahan taruhan orangtua sendiri, sangat tidak menyenangkan.

Dan sekarang mereka juga melakukannya. Aku yang bahkan masih belum genap dua puluh tahun harus mendengar mereka yang sudah mempersiapkan suami masa depan untukku.

Satu temannya mama dan satu karyawwan papa yang teladan dan sangat dibanggakan.

Entah kapan semua ini berakhir.

"Om, Tante, aku pamit, ya?" ucap Aryan yang akhirnya mungkin tidak nyaman karena sejak tadi papa terus menyindirnya. Mama yang serasa membela malah lebih seperti membela diri.

"Sudah mau pulang, Aryan? Cepat sekali, kau bisa bicara lebih lama dengan Bilqis. Kalian bahkan bisa ke kamarnya. Tidak apa-apa."

"Ma!" seruku memberi peringatan.

Yang kuserui malah hanya melengos tidak peduli. Aku menutup mata dengan tidak percaya.

"Pulang saja langsung, sudah sangat malam. Kau tidak takut terjadi hal buruk padamu dijalan," sindir papa lagi yang duduk di sebelah mama. Tangannya bersedekap memberikan pandangan meremehkan yang tampak tidak terlalu kentara.

Aku memandangnya dan memberikan gerakan agar papa menatapku. Dan kembali, aku diabaikan.

"Om, benar, aku akan pulang sekarang." Aryan sudah berdiri.

Aku juga ikut berdiri.

"Mau ke mana?" tanya papa dengan mata mengawasi.

"Mengantar Aryan ke depan."

"Duduk. Dia pria, dia harusnya tidak perlu diantar. Dia tahu jalannnya. Lebih baik kau naik dan lihat apakah barang bawaanmu sudah ditaruh semua ke tas. Besok kau harus kembali ke asrama, kan?"

"Tapi, Pa ...."

"Naik!"

"Aku akan pergi, Qis. Sampai jumpa di kampus." Aryan memberikan anggukan padaku.

"Jangan menemuimu dan mengganggu pealajarannya. Mengerti?" ancam papa.

"Ada apa denganmu?" mama mulai. "Dia itu murid pintar. Dia rajin dan juga sopan. Bersamanya, Bilqis akan lebih baik lagi dalam pelajarannya. Jadi, jangan terlalu membatasi pergaulan mereka."

Aku sudah duduk dengan desahan. Sungguh, aku ingin dimasukkan kembali ke perut dan lahir dari rahim wanita yang lebih waras. Bukannya pasangan yang saling mencintai tapi terus membuat hidup mereka berkompetisi.

Jelas sekarang aku juga malu, tapi karena sudah terlalu biasa, entah seperti apa bentuk rasa malu itu sekarang.

"Aryan, terus temani Bilqis, ya? Dia membutuhkanmu." Mama tersenyum dengan manis ke arah Aryan.

"Kate Zahaya!" seru papa keras.

Kami semua terkejut, termasuk mama. "Ada apa denganmu? Kecilkan suaramu!"

"Kau tersenyum pada pria lain seperti itu? Di depanku? Apa kau sedang menggodanya? Kau ingin merebut pria yang kau jodohkan dengan putrimu?"

Mama melongo. Dia menunjuk diri.

Papa segera menyingkir dan meninggalkan kami. Mama mengejarnya dan jelas akan membujuknya. Seperti biasa.

Sementara aku hanya tersenyum ke arah Aryan dan segera pamit pergi ke lantai atas, ke kamarku. Aku sudah lama kehilangan wajah di depan teman-teman dan orang-orang yang dekat denganku.

Sangat memalukan.

Kemelut Cinta Bilqis Where stories live. Discover now