20. Lost and Regret: Olla

Start from the beginning
                                    

Rena nyoba buat cairin suasana lagi. "Bawain oleh-oleh ntar, La."

Olla diem bentar. Terus dia senyum walaupun bentar doang. "Gue tunggu di kamar. Flight gue besok subuh-subuh."

"Oh?" Hera keliatan kaget. "Luar negeri?"

"Bukan urusan lo." Olla bangun terus pergi gitu aja.

Rena bisa liat kalau ekspresi Hera jadi kaku. Nggak lama sih. Habis itu, Hera ngembusin napas yang kedengeran banget kalau panjang bener. Kayak semi-semi frustrasi gitu, wak. Sama kayak Olla, dia juga cepetin makan.

"Gue ke kamar dulu." Hera berdiri pas udah kelar. "Tinggalin aja. Nanti ada asisten part time yang dateng buat bersih-bersih."

Rena ngelirik Bian yang nggak ngerespons. Jadi dia aja yang ngangguk sekalian wakilin abangnya. "Oke, my sweety bunny darling."

"NAJIS, RE!" Hera nimpuk muka Rena pake apel. "Simpen aja tuh panggilan buat Joshua."

"MAKSUDNYA!?"

Hera nggak bales lagi. Dia keluar dari ruang makan, ninggalin Rena sama Bian.

Rena ngehela napas. Ngeliat Hera sama Olla bikin dia jadi agak gimana gitu. Diliriknya lagi Bian yang juga udah mau kelar makannya.

"Bang," panggil Rena.

"Hm?"

"Lo sama Olla lagi ada masalah?"

"Dari dulu gue sama dia emang nggak pernah akur," sahut Bian.

Rena rolling eyes. "Terserah lo pada, deh."

Diem bentar. Pas Rena udah kelar makan, Bian nahan dia waktu Rena mau berdiri nyuci tangan.

"Kenapa?"

Bian natap Rena lekat-lekat sebelum bilang, "Respect ke Hera sama Olla. Gimana pun juga, mereka kakak lo."

Rena blas kediem seribu bahasa. Nggak paham tiba-tiba Bian ngomong gitu. "Jangan buang perangai gitu dong, sat!"

"Hubungan gue sama Hera atau Olla nggak perlu jadi urusan lo, Dek," kata Bian lagi.

Sumpah. Rena beneran ngang ngong di sini. Kek nggak ada angin, nggak ada guntur, Bian ngomong gitu. Rena mau nanya lagi tapi Bian keburu beranjak duluan. Ngedahuluin Rena yang masih kepaku dalem pikiran.

Rena auto geleng-geleng. Pas udah kelar bebersih dikit biar pun Hera bilang tinggalin aja, Rena cus ke kamarnya. Di lantai dua, sebelah kanan. Kamar paling ujung.

Pas udah nyampe, tadaaaa! Olla beneran udah nungguin dia. Olla duduk di salah satu sofa, sambil natap layar laptop di pangkuan.

Rena duduk di ujung ranjang. Ngeliatin Olla pas nyapa, "Mau ngomong apa?"

Tatapan Olla keangkat dari laptop. Nggak pake lama, tuh cewek langsung nutup laptopnya buat fokus sama Rena sekarang. "Masih galau soal Joshua?"

"Keknya udah cukup ngomongin Joshua, La." Rena ngedesah sambil mijit kepala. "Gue nggak tau mau jawab apa."

"Gimana perasaan lo ke dia?"

"La—"

"Renata." Olla motong. "Habis ini, gue nggak bisa jamin bakal ketemu sama lo lagi. Alesan kenapa gue mau ke sini itu karena lo."

Rena diem.

"Gue bakal sibuk banget. Jadi, gue mau coba bantu lo selagi masih ada waktu tatap muka gini."

"Gue nggak tau." Rena akhirnya luluh juga. "Gue sama Joshua udah temenan lama. Dia paham sama sifat gue, gue juga tau kelakuan dia."

"Then?" tanya Olla lagi.

Rena natap Olla tepat di mata. "Gue nggak tau."

"Habis ciuman itu, apa lo pernah bayangin dia ciuman sama cewek lain?"

"Please." Rena ngerang ketahan. "Dia udah punya cewek."

"Dan lo nggak suka sama ceweknya."

Rena mau kaget tapi somehow dia nggak bisa. Kakak-kakaknya ini emang seolah punya bakat buat ngebaca sebagian pikiran Rena. "Gue punya alasan buat nggak suka sama si lontay."

Olla malah ngasih smirk. "Lontay?"

Rena ngangkat bahu. "Dia problematik. Intinya, Joshua goblok bisa-bisanya pacaran sama dia."

"Itu pilihan Joshua," sahut Olla. "Kenapa lo yang permasalahin?"

"Lo nggak bakal ngerti," jawab Rena.

Alih-alih kesinggung apa gimana, Olla malah senyum sambil terus natap Rena.

Rena tau maksudnya apa. Olla mungkin nggak kayak Hera yang meledak-ledak atau Bian yang protektif mampus, tapi Olla juga nggak bakal berhenti sampai dia dapetin apa yang dia mau.

Jelas sekarang yang diincer Olla adalah jawaban jujur Rena.

"Gue kesel," ungkap Rena. "Kenapa cuma gue yang jadi berantakan gini? Kuliah nggak fokus, sembunyi-sembunyi mulu biar nggak ketemu dia, diinterogasi sama geng gue. Sementara dia adem ayem seolah nggak terjadi apa-apa."

"Dan?"

"BANGSAT!" Rena nutup muka pake telapak tangan. "Gue panas kalau bayangin dia ngewe sama ceweknya. Puas lo?"

"Akhirnya." Olla nyender ke bantalan sofa. "Lo nggak rela?"

"Lebih ke bisa-bisanya dia nganggep ciuman itu seolah bukan apa-apa. Gue sumpahin kontolnya jadi croissant!"

Olla malah ketawa. "Bengkok dong."

"NGGAK USAH PORNO!"

"Lo udah omongin ini sama dia?" tanya Olla lagi.

"Gue udah cerita kan?" Rena ngernyit. "Joshua bilang anggap aja itu nggak pernah terjadi."

"Lo berharap apa kalau ngomong meledak-ledak gini ke dia?" Olla merespons santai. "Udah pasti dia bakal nganggap lo sepele."

Rena buang muka. "Dia nyebelin."

"Pernah mikir lo sendiri nyebelin apa nggak?" Olla jujur aja. "Lo sering deeptalk sama dia kan?"

Rena ngangguk. "Udah lama, tapi."

"Ajak dia ngobrol persis kayak lo deeptalk," saran Olla. "Jangan meledak-ledak di depan dia. Bicara yang jelas. Kasih tau perasaan lo yang sebenernya gimana."

"Jangan bilang lo ngedukung Hera," keluh Rena.

Olla ngegeleng. "Gue percaya apa yang lo rasain lebih dari sekadar lo kurang belaian atau demen sama Joshua."

"Thanks." Rena ngehela napas. "Jadi, saran lo gue ngomong lagi ke dia?"

"Turunin ego lo. Bicara baik-baik. Komunikasi yang bener." Olla bangun terus ngacak-ngacak rambut Rena. "Itu saran gue."

Rena nyemburin napas lewat bibir. "Gue nggak yakin."

"Lo cuma perlu yakin sama satu hal."

Rena ngedongak. Natap Olla buat nunggu jawaban

"Kalau lo terus-terusan gini, cepet atau lambat, lo bakal dihadapin sama pilihan yang lebih sulit."

".... maksudnya—"

"Kehilangan Joshua atau kejebak penyesalan."


















Fuck Up the FriendshipWhere stories live. Discover now