Prolog*

222 97 24
                                    

Aku, Aku sendiri. Delapan Belas Tahun Umurku waktu itu, tubuh semampai berisi, dibaluti kulit sawo matang kekuningan, mata sayu, hidung ala kadarnya. Seakan dia itu reinkarnasi dari Sultan Batara Gowa (Setidaknya begitu kata orang-orang). Sekadar jelmaan pun sudah cukup, jangan susah payah dibuktikan lebih jauh. Dan memang orang-orang tidak akan percaya jika lebih dari itu. Setidaknya selama lembaran daun lontar di tanganku senantiasa terkepal, selama itu pula akan menyalahi prasangka kalau diriku memang Sangaji; bukan belaka reinkarnasi, melainkan putra tunggal dari yang mulia Sri Baginda Sultan. Mau di kata apa? Aku jauh lebih penasaran aksara Bugis dalam lontar yang penuh pengetahuan akan Tuhan, dibanding mematuhi susunan tata tertib milik Kesultanan.

Kenal saja Aslang, namaku sendiri. Panjangnya Andi Aslang Kareng Tenrigiling. Kuharap sudah tidak asing, kalau memang masih, perkenankan diri menarik langkah lebih jauh lagi; Orang-orang itu selalu saja bersikeras menyandingkanku dengan reka hitam seorang tua yang dibungkus dalam bingkai pigura usang, haruskah kukatakan pada mereka, kalau aku tetap pewaris dari orang tua dalam bingkai yang mereka tengah amati itu? Hanya alasan aku pelamun dan lebih banyak menghabiskan waktu di hadapan buku, lalu dengan kerut kening mereka seolah tak setuju, dengan alis yang sengaja bertemu seolah menyatakan kalau aku ini belum atau memang tidak pantas dikata Sangaji, belum atau memang tidak patut menyandang status cucu buyut dari si orang tua. Ale! rasanya tidak perlu, peduli apa? Susah paya kubuktikan pun, mereka-mereka belum tentu membenarkan. Lagi pula, besar tidaknya mereka berkoar, darah dalam tubuhku tetap saja merah, tiada pernah berubah, tetap mengalir bersama merahnya bulir darah Si Orang Tua, atau seperti yang mereka kenal melalui sebutan: Sultan Tamalatea, Andi Tendri Karaeng Mappangngewang . Itulah, mata manusia, tiada rasa puas, pandangannya terpatok yang diluar-luarnya saja, sedangkan lupa, gairah semangat reka hitam itu, sedemikian membara dalam-dalam. Pada mulanya, aku tak beda dari pangeran-pangeran dalam cerita dongeng yang pernah aku dengar. Namun seperti dalam cerita itu sendiri, tak pernah sekali pangeran dikisahkan selain berperang menunggangi kuda dengan sebilah tombak atau pedang ditangannya, tak pernah selain menunggu baginda raja bakal dihinggapi kematian, agar pangeran dapatlah duduk di atas dipan singgasana, menyandang martabat paling terhormat, dan pada akhirnya mati juga dia. Menjijikkan, kecutku pada Si Pembaca. Maklum, mungkin di zaman pangeran belum ada Tuhan, terusku lagi. Hanya ada hewan dan alam yang sama berlagak menggurui; membiasakan mereka saling membunuh satu sama lain.

Dada ini seakan mengembung kala mengetahui diri tak lagi digurui oleh bahasa dan budi pekerti yang tiada sedikit saja tata krama. Kuakui tubuh ini melekat maharaja zalim, nafsu hewani tiada terkendali, makin merajalah kiranya jika Tuhan tak segera menyatu, membimbing serta semua-mua, begitu selama ini yang kusadari. Tuhan yang tak mampu Aku raba, tak mampu Aku tangkap bahkan dengan mata, namun kehadirannya yang sungguh amat sangat terasa. Justru lebih dekat dari urat leher? "Tuhan tidak menyatu akan dirimu Aslang!" Sekali salah seorang murid Syeh Yusuf Gowa mengingatkanku, "kau mana sanggup. Sekalipun Sangaji. Kekuasaannya, itu yang meliputi dirimu kini!" Tukasnya lagi, sembari menukil salah satu dawuh Guru Yusuf. Ya, Syeh Yusuf, Ulama tersohor itu bahkan sudah digelari dengan "Tuan Kita Yang Selamat." Tak heran, kehadirannya dalam mimbar agama, seakan juru penghubung nadi horizontal antar manusia, sekaligus pusat vertikal antara Tuhan dan hambanya, meniupkan sentuhan angin sendalu di setiap sela-sela panggung kehidupan. 

Meski dalam satu waktu dan tempat yang sama dengan Sang Guru Yusuf, aku tak pernah sekali bertemu walau sekadar dalam bayang mimpi-mimpiku. Rasa-rasanya seperti Tuhan juga dia. Namun begitu, seseorang dalam angan benakku itu sangat diriku rindukan. Ingin rasanya sekali saja seumur hidup dapat memandang wajahnya, memeluk tubuhnya, menggandeng bersama-samaku ke hadirat Tuhan.

Sebelum semua ini. Entah kebetulan, entah beruntung. Jelasnya terjadi begitu cepat, kegembiraan dan kelemahan berbalut buah-buah kenangan yang direnggut manisnya lalu berubah menjadi sepah, kemudian bertunas kembali, menciptakan akar-akar baru pemeluk bumi, hidup ia kembali, bernaung di bawah dedaunan yang berasal dari benih-benihnya sendiri. Pada dasarnya aku bertukar menjadi pena, setangkai kayu dengan segala kesederhanaannya berusaha bersaksi akan sendiri melukis, mengores secercah tinta  pada serpihan daun lontar, hingga akhirnya surut, sadar terlalu banyak kekurangan, rupanya aku sekadar pena dari Zat Hyang Maha Kuasa, ia tuanku yang kupertuhankan, di hadapannya aku pena tiada berkuasa, dan melalui segala ketidak berdayaku, digariskannya olehku takdir-takdir di atas selembar daun lontar, begini persisnya  :

***

*Tujuh Petala Langit.

*Tujuh Petala Langit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hikayat Aksara JawaWhere stories live. Discover now