Konklusi - 1

33 9 0
                                    

—Fadila

"Alma!" Hau-Hau muncul di pintu gerbang, tangan melambai. Dia lari kecil, menghampiriku yang sedang jajan cendol tak higienis di pinggir jalan. "Nungguin?"

"Baru abis segelas."

"Kamu masih mau nambah? Lagian, kamu sekolah?"

"Kagak." Aku menghabiskan gelas kedua cendolku dalam sekali seruput, lalu mengelap mulut dengan kerah rompi. Seragam baruku sudah ada. "Mau cendol dulu? Gue yang traktir."

Hau-Hau tersenyum geli. "Gak usah, makasih."

Aku bangkit dari jongkok dan menepuk bokong rokku yang kotor, lalu berjalan di samping Hau-Hau, di sisi kendaraan.

Lagi, Hau-Hau tersenyum geli. "Kamu jentel banget!"

Aku terkesiap, baru sadar. Kuraba-raba selangkanganku, takutnya ada yang tumbuh—tapi tidak. "Kali gegara lo manis banget." Aku mengendus leher Hau-Hau. "Sama wangi banget. Cewek banget. Pantes Cebol kelepek-kelepek."

Hau-Hau mengernyit sedikit. "Kamu ... suka cewek?"

"Gak juga. Gue suka abang lo. Tampangnya doang, sih." Kugandeng tangan Hau-Hau yang tipis. "Tapi kayaknya gue bisa apresiasi cewek cantik juga. Kayak lo sama Iqla, misalnya."

Hau-Hau memekik dan tergelak ketika aku coba menggerepe bokongnya. "Kamu juga cantik," ungkapnya.

"Oiya, dong! Jelas!"

"Alma, kamu harusnya di sana pura-pura ngerendah, terus muji aku balik."

"Kenapa?"

"Sebut aja etika cewek."

"Walopun semisal gue gak pengen muji?"

"Pujian palsu juga etika cewek."

"Tapi kalo gue puji lo, lo mesti puji gue balik juga, dong?"

"Iya."

"Gak ada abisnya, dong?"

"I ... ya?

"Meh. Berabe."

"Kamu makin kayak mbak aku, ih." Hau-Hau geleng-geleng. "Gimana kondisi Zaza? Kita udah boleh jenguk?"

"Udah bisa suruh-suruh, si bangsat. Dipikir gue sama Iqla kacung dia kali." Aku mencuri pandang. Hau-Hau tak nampak senang. "Kepalanya kejedot, tapi cuma gegar otak dikit. Gak bikin dia jadi bego."

"Gimana sama cewek yang mukul dia?"

"Zulfa? Cebol gak mau libatin polisi. Ngomong kalo dia yang provokasi duluan. Masalah diberesin di sekolah."

"Hmm." Hau-Hau manyun sedikit. "Kamu tau Zaza pernah masuk rumah sakit juga waktu kelas satu SMP?"

"Kasus dukun palsu?" tebakku.

"Kamu udah denger?"

"Dikit."

"Aku kenal dia dari kasus itu. Dia ... duh, lukanya parah. Gak sadar diri seminggu. Aku anak sekolah pertama yang jenguk dia—jangan itung Iqla. Zaza aneh banget. Makanya dia gak punya temen."

Mungkin lain kali aku mesti tagih janjinya untuk bercerita tentang kasus ini. Macamnya seru juga.

"Jadi, gimana kasus sekarang?" tanya Hau-Hau. "Udah beres, kan?"

"Nah." Aku berhenti, menengok sekeliling, lalu mengedik ke kursi depan minimarket. "Itu banget yang pengen gue bahas sama lo. Mau duduk di sana?"

Hau-Hau mengangguk, jadi kuseberangkan dia di jalan. Sekalian kusiapkan kursinya dan mempersilakan dia duduk duluan. Entah kenapa aku merasa sedikit senang dengan peran jentelmen ini.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Where stories live. Discover now