Hari Keenam, Minggu - 2

30 10 0
                                    

—Zaki

Usai memindahkan mayat korban ke tempat yang tak mencolok dan meninggalkan sejumlah uang di sakunya sebagai biaya berobat, kami kabur—lari kucar-kacir bak lelaki hidung belang yang digerebek Satpol PP ketika baru masuk dua celup.

"Dia kagak mati, eh! Ngawur aja!" Buntut Kuda meninju punggungku, keras dan tanpa perasaan.

Aku jatuh, tergeletak ngos-ngosan. Lelah bukan main. Jantungku nyeri dan terbakar, perutku bergolak tak keruan. Aku bisa membayangkan dengan jelas nyeri otot yang akan kurasakan besok pagi.

Kami pergi ke tanah lapang berumput. Rame aduhai. Aku menyipitkan mata. Jauh di tengah-tengah, berdiri panggung permanen. Ada band musik amatir yang sedang konser, mengantarkan musik hardcore yang cocok jadi background dari adegan ini.

"Cebol! 'Tuh!" Buntut Kuda kembali lari. Aku mengikutinya dengan merangkak, terlalu lelah untuk berdiri. Ampas. Makhluk itu macamnya punya reaktor nuklir alih-alih lambung di dalam perutnya.

Kami tiba ke salah satu lapak dagang yang menjual pakaian murah. Mempertimbangkan berbagai catatan kriminal yang telah Buntut Kuda lakukan, kupikir memang bijak untuk menyamar. Ogah banget andai aku sampai ditangkap dan dituduh habis berbuat mesum dengan alien yang satu itu.

"Lo aja yang masuk," kataku, duduk selonjor di luar. "Gue cape."

"Pengen beli yang kek gimana?"

"Terserah. Duit-duit lo."

Tak lama kemudian aku menyesali perkataanku, sebab Buntut Kuda keluar membawa rok, kerudung, dan baju perempuan. Dia bilang terserah aku mau pakai atau tidak, tak ada yang memaksa. (Anjing sekali, memang.)

Sepuluh menit kemudian, kami keluar dari toilet dalam balutan busana baru. "Hmm! Lumayan, lah. Manis lo, kayak Hamster," katanya sembari berjalan mengitariku. Dia sendiri memakai kaus lebar bergambar monyet nyengir, rambut digulung ke dalam topi hitam.

"Lo juga. Ganteng," sindirku.

"Sering dibilangin." Buntut Kuda dengan pedenya berpose, dagu bersandar di antara jempol dan telunjuk. "Gue udah putusin buat gak ngeluh lagi. Cewek tomboi ada pasarnya sendiri."

"Bukan gue, pastinya."

Kami duduk di bangku batu di bawah pohon kihujan besar, ditemani sekeresek gorengan, susu stroberi, dan kopi hitam. Omong-omong punyaku itu susu stroberi, bukan kopi hitam.

"Jadi ..." Buntut Kuda mulai bicara. Kupikir dia hendak membahas kasus Raisa, tapi tidak. "... lo demen 'pasar' yang kayak gimana?"

"Ngapain nanya? Naksir gue, lo?"

"Normal kali temen nanya begitu."

Aku berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk setuju. "Yang jelas yang gak kayak lo."

"Yang ugly, gituh?"

"Anjing. Ego lo gedenya ngalahin cowok, sumpah."

"Ya kalo gak kayak gue itu yang ugly."

"Yang feminin. Yang pake rok. Yang pake aku-kamu. Yang gak ngumpat. Yang suka ngurus, orang lain tapi juga diri sendiri. Yang gak buntut kuda."

"Apa salah buntut kuda!"

"Kelewat praktis. Feminin mana ada praktis."

"Rasis lo, ah! Terus gimana? Lo pengen cewek-cewek pada dandan yang berabe, gitu?" Buntut Kuda melotot, kelihatan betulan tersinggung. "Rambut panjang sepinggang, gitu? Gelebar-geleber kayak bendera? Kalo keramas, berat; kalo molor, ketindih; kalo makan, ketelen?"

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Where stories live. Discover now