Hari Ketujuh, Senin - 8

Mulai dari awal
                                    

"Pagarnya gak ambruk. Kalo Raisa emang jatuh kejungkir, pagarnya mesti ambruk duluan."

"Terus yang jatuh siapa, dong!" protes Buntut Kuda. "Setan yang gak punya berat badan?"

"Boneka," usul Ketua. "Kayak ... maneken?"

"Dan lo gak sadar kalo itu maneken?" komplain Zulfa. "Masa iya? Lo gak ngada-ada, kan?"

"Udah gue bilang. Lokasinya gelap, dan gue liatnya di seberang sungai juga. Jangankan maneken, kalo dia bantal guling pake seragam pun gue gak bakal sadar."

Aku mengangguk setuju. Ketua memang sinting, tapi dia tak bodoh. "Yulsa sama Elli gak bohong."

Buntut Kuda menoleh. "Mereka beneran liat arwah Raisa?"

"Arwah? Mana ada. Itu beneran Raisa. Dia gak jatuh!"

Zulfa bergegas menghampiriku, nyaris memelukku. "Raisa masih hidup?"

Aku bungkam seketika. Aroma harapan harum sekali. Untuk sesaat, aku nyaris ikut terpikat. "Enggak," sahutku berat. "Lo liat sendiri mayatnya, kan? Dia gak jatuh. Dia selamet di tempat wisata, tapi tetep dibunuh abis itu."

Aku bisa merasakan jawaban final dari teka-teki ini. Begitu dekat. Cuma di ujung lidah. Mungkin gara-gara itu aku jadi tak sadar dengan volume suara kami. "Ini jelasin gimana mayat Raisa pindah tempat—tanpa dimutilasi dulu. Seudah insiden jatuh di air terjun itu, Raisa pergi, datang ke sekolah. Mungkin sambil nyamar ato nyelinap, makanya gak ketangkep CCTV. Di sana dia ketemu si pelaku—"

Buntut Kuda menyentak kerah seragamku. Seperempat detik berlalu dan kaca jendela pecah.

—Zaki

Buntut Kuda menyentak kerah seragamku. Seperempat detik berlalu dan kaca jendela pecah. Sebongkah batu melesat sejari dari keningku. Aku bisa mendengar angin menderu tajam.

Untuk sesaat, cuma suara kaca jatuh yang terdengar di sana. Mungkin gara-gara momen nyaris fatal itu, otakku mengalami kilas balik. Semua memori dan pengetahuan berkelebat di depan mataku. Hal macam ini terjadi ketika otak mencoba mencari solusi untuk masalah yang diduga membahayakan nyawa. Sayangnya, solusi yang kutemukan datang dari pertanyaan yang lain sama sekali.

"Itu si bangsat!" Buntut Kuda melompat naik ke kosen jendela yang kini bolong. Buru-buru aku menahan bajunya. "Zaki! Ngapain—lepas, bego! Itu si bangsat tadi yang lempar!"

"Gue tau."

Buntut Kuda melongo. "Kita kejar—"

"Gak."

"Kenapa! Dia belom jauh—"

"Gak. Plis. Udah. Gak papa. Jangan dikejar." Wajahku pasti pucat saat itu. Lututku lemas, tanganku gemetar, mataku berkunang. Ledakan energi ke otak membuat sisa tubuhku kehilangan tenaga.

"Lo gak papa?" Buntut Kuda turun dan meraup kepalaku. "Tadi batu gak kena pala lo, kan?"

"Gue tau jawabannya."

"Hah?"

Aku melepaskan diri dan melangkah ke jendela dengan sempoyongan. Aku tak melihat siapapun di luar sana. Aku harap dia belum lari jauh. "Gue tau jawabannya!" teriakku, lalu menambahkan, "Makasiiiiih!"

Aku berbalik. Semua orang menatapku macam aku ini orang gila. Aku tertawa macam aku ini memang orang gila. "Udah beres," kataku, lalu menoleh pada Buntut Kuda. "Kutukan lo udah ilang. Gak bakal ada yang digentayangin lagi."

"Cok, lo beneran gak papa—" Buntut Kuda coba menghampiriku, tapi didepak duluan oleh Zulfa.

"Siapa pelakunya?"

"...."

"Siapa pelakunya!"

Aku diam, menoleh pada Buntut Kuda, menoleh pada Ketua. Mana mungkin aku bisa bilang di depan mereka?

"Bilang!"

"Zulfa—"

"Zaki, plis ...!" Mendadak si gadis berhenti marah dan ganti memelas. Sorot matanya tampak frustasi oleh ketergesaan. "Aku ... aku mohon. Siapa pelakunya? Bilang. Bilang, Zaki. Siapa yang udah bunuh Raisa!"

Aku tak tega. Aku meraih bahu Zulfa, menariknya, lalu berbisik di telinganya. Beberapa detik kemudian, Zulfa mendorongku dan mundur. Wajahnya kelabakan. "Lo bajingan!"

"Zulfa." Aku maju setengah langkah, hati tak karuan. "Gue ... gue tau ini gak guna. Gue tau ini gak bakal ngubah apa-apa. Tapi ...." Aku menarik napas dalam. "Gue ... gue minta maaf."

"Anjing lo! Babi! Tai! Bajingan!"

Buntut Kuda mencium bau perkelahian dan bergegas maju. "Woy, woy, kalem ... kalem .... Ada apaan, nih! Kenapa malah ngegas—"

"Biarin," kataku.

"Tapi, Ki—"

"Biarin. Dia ... dia punya hak. Dia—"

Zulfa datang menerjang. Entah sejak kapan dia memegangi batu yang tadi memecahkan kaca jendela. Wajahku kena hantam. Keras bukan main. Penglihatanku langsung merah semua.

"Bangsat lo! Bangsat! Tai!" umpat Zulfa. "Balikin temen gue, anjing!"

Lagi, Zulfa menghantamku. Aku jatuh ke lantai, darah masuk ke mata. Oh, anjing. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Aku bahkan tak bisa berpikir dengan waras. Aku pikir aku akan mati. Aku harap aku mati.

"Mati lo! Mati lo! Mati—"

Aku mendengar suara pria berseru. Zulfa kemudian hilang dari pandangan samarku. Gelap untuk beberapa detik. Ketika sadar, aku sedang digendong oleh Buntut Kuda. Ekor rambutnya berayun menggelitik telingaku.

"Jangan mampus dulu ... jangan mampus dulu ... plis jangan mampus dulu ... gak gue ampunin lo kalo main mampus seenaknya ...," dia merapal, macam membaca jampi-jampi. "Lo udah janji: gue yang mulai, lo yang akhirin. Gue masih belom tau akhirnya, bangsat. Jangan mampus dulu."

Sesaat kemudian, kembali gelap. []

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang