Hari Keenam, Minggu - 1

Start from the beginning
                                    

—Zaki

Pada akhirnya, seperti yang Anda semua ketahui, aku ikut rencana Buntut Kuda. Bukan sebab aku ketularan semangat dia. Bukan pula sebab aku ingin membuktikan bahwa diriku tidak bersalah. Aku digagahi.

Jadi, kami pun pergi menuju TKP. Betapa itu agenda yang luar biasa konyol. Selain tempat tujuan yang melanglang buana, aku juga belum persiapan apa-apa. Aku cuma pakai kaus dan kolor dan sandal jepit. Aku bahkan belum sarapan atau minum susu pagiku—aku tak pernah memulai hari tanpa yang dua itu.

Kami masuk ke mal terdekat dan memarkir Phoenix di sana, lalu pergi ke terminal. Kami naik bus, turun di kota sebelah, lalu pindah angkot berkali-kali hingga si Buntut Kuda muntah. Wajahku terasa terbakar gara-gara dituduh kenalan orang katro ini.

Begitu kami sampai di tempat wisata, Buntut Kuda langsung tepar di bawah pohon cemara. Aku membeli sebotol Sprite buatnya (dengan uang dia sendiri, berhubung aku tak bawa duit barang sepeser pun). Aku membukakan tutupnya, menaruhkan sedotan, hingga menyodorkannya sekalian. Seolah itu belum cukup baik, aku sampai mau-maunya pijat tengkuk si gadis.

"Sori, sori," ujarnya, wajah pucat dan sudut bacot basah. "Mobil bokap semua AC-an. Seumur-umur gak pernah naik angkot."

"Masa, sih."

"Gue sultan, jir." Buntut Kuda menghela napas. "Dulu gue biasa diantar-jemput kalo mau ke mana-mana."

"Sama babeh lo?"

"Gak, lah. Sama sopir."

"Sopir pribadi?"

"Emang ada sopir umum?"

"Kek princess lo."

"Gue emang princess." Lalu dia muntah lagi di dekat kakiku.

"Anjing bangsat nyiprat babi!"

"Terus? Di mana lokasi Raisa jatoh?"

"Mana tau, lah! Gue gak ikutan piknik, anjir!"

"Lah? Gimana dong?"

Aku mengusap wajahku. Manusia edan. Sama sekali tak bisa diandalkan. "Biar gue tanya Iqla." Aku mengeluarkan HP-ku.

—Zaki

Ada banyak hal yang menjadikan tempat wisata sialan ini populer. Bakal kering kerontang mulutku andai harus menyebutnya satu-satu—itu pun kalau aku tahu semua. Seingatku, ada kompleks saung botram di sini, ada cagar budaya, ada bumi perkemahan, pemandian, petapaan, pesugihan, bahkan pelacuran sekalian.

Tempat yang hendak kukunjungi adalah air terjun. Yah, tak sesimpel itu. Ada dua puluh delapan air terjun di sini, dari berbagai tingkat dan lima arus sungai berbeda. Gila, memang. Seandainya Iqla tak memberi tahu lokasi tepatnya, manalah kami tahu letak Raisa jatuh.

"Bentar, bentar! Buntut Kuda!" Aku jongkok di tanah, napas terengah-engah. Di hadapanku jalan menanjak terjal, bermedan liar dan terkurung dahan-dahan pohon melengkung. Seekor ulat berjalan dengan giatnya di atas lututku. Kusentil makhluk malang itu hingga terbang ke bokong Buntut Kuda.

"Air?" tawarnya.

"Thanks." Aku mengatur napas sejenak, lalu bangkit berdiri. "Oke. Lanjut."

Air terjun tempat Raisa jatuh ada di atas gunung. Tempatnya terpencil, suram, lagi belantara. Keringat merembes dari kepala sampai lubang pantat gara-gara rute yang terjal dan gila-gilaan. Di tiga perempat jalan, kami sampai di sebuah puncak lereng dan turun kembali, menyusuri deretan tangga tua. Mendadak, ada papan pengumuman yang menghadang: Tempat Ini Ditutup. Kami berdua mematung, mulut mangap-mangap macam ikan gurame.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Where stories live. Discover now