#sembilan • another level of pain

49 24 22
                                    

Allura, pemilik kehidupan yang sempurna.

Cantik, baik, pintar, anak orang berada dan yang pasti harmonis. Tak ada yang kurang dari dirinya. Membuat beberapa orang ingin memiliki kehidupan yang terlalu sempurna itu.

Di sekolah sepertinya tidak ada yang tidak kenal dengan gadis cantik satu ini, kepopulerannya memang begitu besar. Gadis dengan positif vibes, begitulah orang lain menyebutnya.

Allura beberapa kali mewakiki sekolah dalam lomba olimpiade. Hal itu yang menjadikan Allura sebagai tolak ukur kepintaran Dianna.

Dianna selalu mengasah otaknya agar sepadan dengan Allura. Mungkin satu-satu hal yang unggul dalam diri Dianna adalah seni.

Selasa ini mapel terakhir adalah seni budaya materi melukis. Ini adalah satu-satunya bakat yang dimiliki oleh Dianna dan Allura tidak memiliki itu. Ia sedikit bangga, setidaknya ada satu hal yang bisa ia kalahkan dari Allura.

Para siswa pindah kelas ke kelas seni. Duduk dengan kanvas di hadapan mereka serta cat dan kuas di tangan.

Lukis realis, materi hari ini. Coretan warna terlukis di atas kanvas menyerupai wajah seseorang yang menjadi model di depan.

"Al, lo ikut les ya?" Tanya Dianna dengan tatapan masih fokus pada lukisannya.

"Iya, kenapa?" Sahut Allura dengan pandangan yang sama seperti Dianna.

"Di mana?"

"GO." Kali ini Allura menjawab sambil menoleh ke arah lawan bicara. "Lo juga mau les? Anak sini banyak juga yang les di sana."

Dianna masih berpikir. Ia masih bingung ingin masuk les atau tidak mengingat sebentar lagi mereka naik ke kelas 12 dan akan berhadapan dengan soal-soal ujian.

Untuk bimbel di Ganesha Operation itu terlalu mahal, bahkan uang jajannya sebulan saja tidak cukup untuk membayar bimbelnya. Orang tuanya tidak mungkin mempunyai uang sebanyak itu. Dianna menghela napas.

"Kalok lo mau, nanti berangkatnya bareng gue aja."

"Nanti deh gue pikir-pikir dulu."

"Wah, bagus banget lukisan Allura. Kamu ada darah seni ya?" Celetukan dari arah belakang Allura membuat beberapa orang menoleh.

Yang lain ikut penasaran dengan lukisan Allura, alhasil tempat Allura dikelilingi banyak orang.

Dianna kira ia sudah bisa mengalahkan Allura, ternyata tidak. Merasa kalah dalam hal yang disukai itu benar-benar menyakitkan.

***

Sepulang sekolah Dianna hanya duduk termenung di halte menunggu angkutan umum. Tapi beberapa angkutan telah lewat Dianna tak kunjung naik.

Hari mulai gelap, sekolah mulai sepi hanya ada beberapa siswa yang sedang ikut ekstrakurikuler.

"Kenapa masih di sini?" Revano dengan kuda besinya berhenti di hadapan Dianna.

Tanpa bicara, Dianna naik ke jok belakang tanpa mengenakan helmet. Revano yang bingung tetap menggas motornya mengantarkan si manis ke rumah.

Ada apa dengan gadis ini? Tidak biasanya ia diam seperti ini. Semenjak kejadian bolos sekolah itu mereka semakin dekat. Dianna yang tertutup di sekolah berbeda saat sedang bersama Revano, gadis itu selalu menceritakan apa yang ia rasakan.

"Kenapa ya, gue nggak punya bakat?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Dianna membuat Revano mengernyit.

"Dia cantik, pinter, bahkan satu-satunya hal yang gue banggain dalam diri gue yang gue pikir dia nggak bakal bisa, ternyata dia bisa melakukan itu bahkan lebih baik daripada gue. Apa sebenernya gue nggak punya bakat?"

"Itu semua berada di luar kendali lo. Jadi stop untuk bandingin diri lo sama orang lain."

Dianna tersenyum tipis mendengar tuturan dari Revano.

"Jadi lo pasti enak, selalu menjadi yang nomor satu."

"Kenapa semua orang pengen jadi nomor satu? Biar dapat perhatian dari orang? Itu yang lo mau?" Tanya Revano tampak acuh.

"Seenggaknya dengan menjadi nomor satu berarti menjadi orang yang dipertimbangkan bukan hanya masuk hitungan." Jawab Dianna panjang.

"Sebelum itu, lo juga harus tau bahwa menjadi nomor satu itu berart menjadi yang tetatas dan mendapat perhatian dari orang lain. Mereka akan menaruh harapan pada diri lo, dan lo harus berusaha lebih keras agar hasil yang kita capai bisa memenuhi ekspektasi mereka. Sekalinya lo membuat mereka kecewa, lo akan merasa lebih bersalah." Jelas Revano panjang lebar.

"Saran gue, lo harus merasa cukup dan nggak iri dengan pencapaian orang lain. Dan lo harus yakinin diri bahwa lo lebih hebat dari orang lain."

Entah kenapa rasanya lega saja tiap kali bercerita dengan pria ini. Revano selalu memberikan kata-kata penyemangat untuk dirinya bukan membandingkan kisahnya.

Motor yang ditunggangi dua sejoli itu berhenti di depan rumah lantai satu dengan pagar rendah di halamannya.

"Mau mampir?" Tawar Dianna saat dirinya telah turun dari motor Revano.

"Boleh?"

Dianna mebukakan pagar dan mempersilakan Revano beserta motornya untuk masuk.

Dianna berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah. Revano duduk di kursi teras melepaskan sepatunya lalu masuk ke ruang tamu tak lupa mengucap salam.

"Temennya kakak ya?" Revano duduk di sofa disambut oleh celotehan mamah Dianna. Sedikit kaku Revano tersenyum. Ini pertama kalinya ada teman Dianna yang main ke rumahnya.

Dianna menyajikan segelas jus jeruk untuk Revano dan satu lagi untuk dirinya beserta beberapa camilan di atas meja.

"Makasih kakak." Dianna menatap pria itu malas sedangkan Revano tersenyum sampai matanya hilang dalam senyuman manisnya.

Revano yang haus menenggak setengah gelas jus yang tersaji. Dianna duduk di sebelah Revano memakan camilan.

"Dianna itu anak yang pinter, dia selalu dapet peringkat tiga besar," ujar mamah Dianna membanggakan prestasi anaknya.

Dianna yang mendengar itu tersedak segera meminum jus yang ada di genggamannya.

Malu saja jika harus dikatakan seperti itu, apalagi ini depan Revano. Siswa yang dulu pernah dinobatkan sebagai siswa terpintar di Dandelions.

"Vano, katanya lo abis ini ada janji sama temen lo?" Dianna mengalihkan pembicaraan.

Raut wajah Revano sedikit bingung. Kakinya diinjak lumayan keras oleh Dianna disertai pelototan mata dari si gadis.

"Akh... Iya. Tante saya pamit pulang dulu." Kata Revano menyalami mamah Dianna lantas beranjak mengenakan sepatu di teras. Dianna mengantarnya ke depan.

Wajah cemberut gadis itu masih tertunduk.

"Orang tua mana yang nggak bangga punya anak yang berprestasi?" Revano telah duduk di atas motornya tapi masih diam.

"Itu kenapa gue obsessed untuk jadi nomor satu." Jawab Dianna masih menunduk.

_____

Ini benar-benar tidak jelas.

18 Oktober 2023

Home To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang