#empat • beauty privilege

88 56 61
                                    

Makan malam di keluarga Dianna terlihat diam senyap hanya ada suara dentingan sendok yang mengenai piring sebelum akhirnya Dianna membuka suara. "Kok lauknya udang? Kan kakak alergi udang."

"Mamah lupa, adek kamu pingin makan udang," Sahut ibunya.

Dianna melirik adiknya sengit, Lio tertunduk tapi masih menikmati makan malamnya.

Dianna menggerakkan giginya kesal, "Adek aja terus. Kemarin aku minta dimasakin ikan nggak diturutin. " Suara deritan kursi bergerser terdengar, Dianna beranjak lebih memilih mengurung dirinya di kamar dan melewatkan makan malamnya kali ini.

Selalu saja begitu. Memang susah menjadi anak tengah, ia harus berperan ganda. Ia sering diminta untuk mengalah dari adiknya dengan alasan adiknya masih kecil. Di sisi lain ia juga harus mengalah dengan sang kakak karena kakaknya lebih butuh.

Ketika anak pertama menjadi harapan yang selalu dibanggakan dan anak bungsu yang dituruti segala kemauannya, sedangkan anak tengah hanya menjadi pendengar di antara mereka.

Anak pertama selalu diutamakan, anak bungsu selalu dapat pembelaan, sedangkan anak tengah sudah terbiasa terabaikan.

***

Dianna bersekolah seperti biasa. Murid di kelasnya tengah berkumpul di lapangan indoor memakai kaos olahraga.

"Kita akan belajar servis dan passing bola voli. Semuanya harus berpasang-pasangan," ucap guru memberikan arahan.

Murid mulai berpencar mencari pasangan. Satu orang mengangkat tangan, "Pak, saya belum ada pasangannya." Hal ini sudah biasa terjadi bagi Xaviera, penampilannya yang kumal dengan wajah dipenuhi jerawat serta kacamata minus tebal yang bertengger di hidungnya membuat yang lain enggan mendekatinya.

"Ya sudah, kamu sama saya aja." Sahut pak guru. "Siapa yang mau maju duluan?" Ini baru latihan, belum penilaian. Murid-murid saling melempar tunjuk  menyebutkan nama temannya.

"Saya, Pak!" Dengan percaya diri Allura mengacungkan tangannya membuat Dianna yang menjadi pasangannya melotot.

Mereka berdua berdiri bersiap. Suara riuh sorakan dari teman-temannya meramaikan.

"Bagaikan kopi dan susu!" Ejek salah satu teman cowoknya dengan lirih. Sudah jelas perkataan itu tertuju pada Allura dan Dianna. Nampaknya itu terdengar oleh Dianna yang langsung melontarkan tatapan sini pada pada pelakunya.

Di sisi kanan pak guru dan Xaviera, di sebelahnya ada Allura dan Dianna. Mereka sudah mulai memainkan bolanya. Beberapa kali bola memantul ke pinggir lapangan yang dipenuhi murid yang sedang duduk menonton untuk menunggu giliran.

Dianna sedikit lelah karena bolak-balik mengambil bola yang dilempar Allura. Gadis itu melempar bola dengan sangat kuat sehingga Dianna yang menangkapnya kewalahan. Sering kali bolanya menggelinding dekat temannya yang sedang duduk, tapi temannya tak ingin sekadar melemparkan kembali bolanya ke Dianna sehingga ia harus mengambil bolanya sendiri. Berbeda jika itu Allura, maka mereka langsung memberikannya tanpa diminta.

Xaviera bergerak lincah melempar dan menangkap bola seolah tubuh gempalnya tak jadi masalah. Beberapa siswa memperhatikan bagaimana Xaviera yang terlihat begitu ahli dalam permainan bola voli. Penonton bersorak sorai mengikuti arah lemparan bola.

Perhatikan Dianna pun tak luput dari Xaviera. Hingga ia lengah, bola menghantam wajahnya keras. Dianna tersungkur dengan hidung yang sudah mengalir darah. Dilihatnya kerumunan di depannya.

Apa ini?

Ia juga terluka, mengapa hanya Allura yang mendapat pertolongan?

Ini tidak adil.

Dianna bangkit menyeka darah di hidungnya yang sudah mengalir sampai ke dagu. Berjalan menuju toilet. Ia segera membersihkan sisa darahnya dan berusaha untuk menghentikan pendarahannya.

Suara air mengalir dari keran terdengar memenuhi toilet yang saat ini hanya ada dirinya saja. Dianna menatap pantulan dirinya di cermin wastafel. Beberapa kali membasuh wajahnya kasar. Rambutnya sedikit basah dan berantakan.

Apakah seburuk itu dirinya sehingga tidak pantas diberikan perlakuan baik?

Sebenarnya salah apa yang dilakukan Dianna hingga diperlukan seperti itu?

Apa karena Dianna itu berkulit gelap? Tidak cantik? Apa itu kemauan Dianna?

Jika ia diberi pilihan, Dianna sangat ingin menjadi cantik. Karena orang cantik lebih dihargai.

***

Ini sudah jam terakhir. Wajah-wajah kumal tertampang. Fokus mereka dalam belajar menurun.

Kursi Dianna digoyangkan dari arah belakang. Dianna menatap Kevin bertanya. "Bukan gue," Sanggah Kevin yang kemudian menunjuk Revano yang duduk di sebelahnya sebagai pelaku.

"Pinjam pulpen," Ucap Revano sedikit berbisik.

"Bukannya kemarin pulpen gue belom lo balikin?"

Revano merogoh tasnya, menemukan sebuah pulpen lantas menunjukkan pada Dianna seraya berucap, "oh iya, ini semalem nginep di tas gue, nggak rewel kok dia."

"Apa sih! Orang aneh." Desis Dianna. Ia kembali menatap ke depan memajukan kursinya.

Kevin menahan tawanya. "Baru kali ini lo dikatain aneh sama orang yang lebih aneh."

"Diem lo." Sinis Revano.

Tawa Kevin akhirnya pecah membuat beberapa murid menatapnya dan berakhir dengan penghapus yang melayang dan menghantam tepat di alat vitalnya. Kalau ini sih hanya anak laki-laki yang tau rasanya.

"Untuk pertemuan selanjutnya, kalian buat kelompok lima sampai enam orang kemudian buat power point dan dipresentasikan di depan. Kelompoknya kalian pilih sendiri."

Kelas mulai bising memilih anggota kelompok.

"Kita sama kalian ya?" Minta Allura. Raut wajah Kevin sumringah.

"Boleh banget."

Coba saja jika Dianna yang bicara pasti akan beda reaksi. Meskipun cara bicaranya sama, jika jelek akan diperlakukan berbeda.

"Ada yang belum dapat kelompok?" Guru bertanya. Xaviera mengangkat tangannya. "Lagi-lagi kamu nggak dapat kelompok, ya sudah kamu sama Allura saja." Allura yang pintar memang sering menjadi anak kesayangan guru.

Allura hanya tersenyum lalu nengajak Xaviera untuk bergabung. Kevin sedikit menggeser kursi menjauh dari Xaviera kala gadis itu duduk di dekatnya.

"Kita kerjain hari ini aja ya di rumah gue, soalnya biar cepet kelar." Ujar Allura, semuanya setuju.

_____

1 Juli 2023

Home To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang