[4]

56 11 4
                                    

Hujan turun dengan gemericik riuh saat kami tiba di puncak bukit, menciptakan musik alam yang suram di antara pohon-pohon tinggi yang menjulang tinggi ke langit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hujan turun dengan gemericik riuh saat kami tiba di puncak bukit, menciptakan musik alam yang suram di antara pohon-pohon tinggi yang menjulang tinggi ke langit. Suara hujan dan angin yang bersahutan membentuk irama menyelimuti alam. Di dalam kepalaku, suara-suara itu tampak bergemuruh bersatu padu. Di kejauhan, cahaya remang bulan sabit bersinar lembut melalui awan gelap, menciptakan kilauan misterius di atas daun-daun yang basah. Di depan kami, terdapat tembok batu mengelilingi Benteng Nippon yang berdiri tegak sekitar 20 meter dari tempat kami berada.

Lekaslah kami melangkah hati-hati, melewati semak berduri dan petanahan becek berumput menuju tembok-tembok batu itu. Di jalur utama yang menuju ke dalam benteng, dua pintu tergantung rusak, tampak sangat tua dan rapuh. Sabda bergerak ke sana, tetapi aku keburu mencengkeram lengannya kuat. Membawanya menjauh, mengarah ke bagian tembok lain. Kami akhirnya merunduk di sana.

"Mengapa?" Mulutnya bergerak, bertanya. Surai panjang Sabda lepek dan wajahnya basah. Ekspresinya penuh emosi. Dia menunjuk benteng di dalam, "Kita harus mencari Jenar!"

Aku menggeleng tegas. "Kita harus berhati-hati!" Jari tengah dan telunjukku berjalan di udara, lalu kutunjuk ke dalam tembok batu. "Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana!"

Kutaruh sembarang pelita yang sudah mati di rumput, kemudian menatap Sabda. Gadis itu jelas tidak senang dengan perbedaan pendapat kami.

Saat hujan semakin deras, terdengar jeritan yang sayup dari dalam tembok batu. Aku berdiri perlahan dan mencoba melihat melalui celah di antara batu-batu basah serta dijerat sulur. Di dalam, hanya terdapat beberapa pohon akasia yang tumbuh di tanah berlumpur nan becek. Di kejauhan, Benteng Nippon berdiri, bangunan kuno yang terbuat dari batu bata gelap, dengan dua lantai yang menawannya. Sinar remang bulan adalah satu-satunya sumber cahaya di sana.

Di balik tirai hujan yang deras, beberapa warga desa digiring ke dalam Benteng Nippon. Mereka berjalan tertunduk, tangan terikat ke belakang dan pakaian mereka basah serta dibercakki darah merah. Orang-orang berjubah hitam dengan cambuk di tangan mengawasi setiap langkah mereka. Mereka terlihat sangat kuat dan mencegah siapa pun keluar dari barisan.

Siapa mereka? Mengapa mereka melakukannya pada orang campuran seperti kami?

Aku menoleh, tiba-tiba mendapati Sabda memberontak saat diringkus oleh salah satu orang berjubah hitam. Lengan orang itu melingkari lehernya, sedangkan tangan lainnya menutup mulut Sabda. Tubuh Sabda bergelantungan saat dia mencoba melawan. Netranya basah, meneteskan air yang berpadu dengan rintik hujan.

Orang itu mengenakan topeng, hanya mulut dan kedua matanya yang terlihat, ia menyeret Sabda menuju pintu masuk tembok batu, mundur sambil berteriak—dari gerak bibirnya terucap lantang, "Zohrah!" Zohrah. " Cepat kemari! Ada Anak Jerat di sini!" Anak Je—rat.

Melalui riuh hujan, mata Sabda menatapku dengan pesan yang jelas, meminta agar melarikan diri. Aku berbalik untuk pergi, tetapi sebelum betul-betul bisa melangkah lebih jauh, sebuah benda keras dan padat menghantam kepalaku, membuatku limbung menghadap ke samping.

Sakit dan pening. Pandanganku kabur, berkunang-kunang. Saat memandang Sabda dan netra orang yang menyeretnya, penglihatanku perlahan menggelap. Namun, sebelum betul-betul kesadaranku terkuras habis, aku merasa seakan mengenali sorot mata orang itu.

... Ayah ....

Lalu gelap.

Lalu gelap

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Anak MerahWhere stories live. Discover now