[1]

101 18 4
                                    

Serani, 1967

"SERANI DIKUTUK!"

Warga terkejut. Bisikan-bisikan tentang peristiwa misterius masih mencuat. Kurasakan suasana suram di tengah kerumunan yang tegang. Menoleh pada Sabda, keningnya berkerut. Dia menunjuk ayahku yang berada di depan, lalu mengangkat bahunya. Bibirnya bergerak, kurang-lebih artinya, "Apakah kau tahu tentang ini?"

Kutunjuk ayah, lalu menggeleng. "Dia tidak pernah cerita."

"Sudah empat warga desa yang menghilang berturut-turut, dan ditemukan tewas esoknya di setapak Benteng Nippon di bukit yang sama, di tempat yang serupa! Ini bukan kebetulan, ada kutukan di Tanah Serani yang mengancam orang-orang berdarah campuran!"

Ayah berteriak lantang di depan kerumunan, membahas masalah Tanah Serani yang dikutuk. Euforia ketakutan yang tadinya menghantui warga desa mulai digantikan kekhawatiran, kepanikan, dan ketegangan, terutama setelah serangkaian kejadian yang menewaskan empat warga berdarah campuran belakangan.

Aku tidak percaya kutukan, sebelum melihat sendiri hal tersebut. Namun, Sabda tak butuh waktu semenit untuk percaya pada provokasi ayah. Gadis itu mudah percaya pada sesuatu yang bahkan tidak masuk akal.

Sabda mendempetku. Dia memberi atensi penuh, matanya menyapu orang sekitar yang bersesakkan sebelum kembali menatapku. Dia menunjuk dadanya, dan mengangkat bahu penuh tanda tanya. "Aku tidak melihat Jenar di sini. Kau melihatnya? Di mana dia?"

Aku melihat sekeliling. Sabda benar, Jenar tak ada di sini. Aku menggelengkan kepala khawatir.

Ketika kerumunan warga Serani bubar setelah terpengaruh kalimat provokatif ayahku, malam harinya desa Serani diserang oleh puluhan orang berjubah gelap bersenjatakan parang. Bersamaan dengan kabar menghilangnya, Jenar, kawanku yang sedang hamil muda tanpa tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya.

Anak MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang