[3]

60 14 2
                                    

Kami berlari di sepanjang jalan yang terjal, lalu memutar ke sebuah setapak kecil yang memotong jalur ke kanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami berlari di sepanjang jalan yang terjal, lalu memutar ke sebuah setapak kecil yang memotong jalur ke kanan. Di kawasan ini, seminggu belakangan, mayat warga yang dilaporkan hilang ditemukan. Setapak  yang tanahnya nyaris dipenuhi rumput liar yang lebat ini, adalah jalan menuju benteng Jepang di puncak bukit puluhan tahun silam. Pasca berdirinya Serani dan kata 'merdeka' tersemat di negeri, tak seorang pun lagi yang pernah ke sana.

Diapit oleh pohon-pohon ulin yang tinggi dan rimbun, kami hampir kehilangan arah, tetapi cahaya temaram pelita memandu kami kembali ke jalur yang kabur. Kakiku terasa berat, dan energi dalam tubuhku seakan terkuras habis. Kepalaku berdenyut, dan telingaku berdenging, seakan diserang oleh sakit dan pening.

Cahaya remang bulan memberi sedikit penerangan saat kami mendadak berhenti, melihat punggung seseorang naik ke puncak bukit di kejauhan. Orang itu mengenakan baju abu-abu yang kotor, basah dan terdapat noda lumpur. Di tangannya terdapat obor yang nyala meredup.

Sabda menoleh ke arahku, lalu menunjuk orang itu yang sekarang telah lenyap di balik pepohonan rindang. "Siapa itu? Apakah kau melihatnya?"

Aku mengarahkan cahaya pelita ke arah orang tadi. "Mungkin itu orang tua Jenar," ujarku. Sabda mengerutkan kening, "Orang itu sama seperti kita, akan ke Benteng Nippon."

Sabda mulai melakukan gerakan tangan, sembari berucap, "Serani sedang diserang, Bahar. Banyak orang dewasa mau pun anak kecil yang tewas. Apakah kau tidak berpikir bahwa orang tua Jenar ada di antara mereka yang mati?"

Aku menggelengkan kepala dengan keras, keningku terpaut. "Jangan pernah mengatakan itu!" Kutunjuk dada Sabda dan diriku sendiri, "Orang tuamu dan Ayahku ada di sana!"

"Semua orang sudah mati! Serani dikutuk!" Sabda berteriak, kentara disulut emosi. Aku mencoba memahami gerakan bibirnya, "Kita semua akan mati!"

Aku menggeleng tegas. Tidak ada lagi seorang pun yang akan mati. Aku bergerak memimpin langkah lebih cepat, sembari menarik tangan Sabda erat.

 Aku bergerak memimpin langkah lebih cepat, sembari menarik tangan Sabda erat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anak MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang