Bagian 12

22 5 2
                                    

"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?"

Papa langsung menodongku dengan pertanyaan bernada tinggi, ketika aku baru tiba di rumah saat waktu shalat Magrib sudah berlalu. Jelas aku kaget, karena ini pertama kalinya Papa bersikap demikian. Selama ini, kalaupun aku pulang terlambat, beliau akan bertanya dengan cara yang baik.

"Lembur, Pa," jawabku asal. "Tadi udah bilang, kok, ke Mama."

"Lembur? Jam segini baru pulang? Apa kata Fayadh nanti kalau lihat calon istrinya pulang malam? Kamu itu calon menantu seorang ustaz, kamu harus bisa menjaga nama baik kamu."

Aku menatap Papa dengan tajam. "Memangnya, Khalis berbuat apa sampai harus menjaga nama baik, Pa?"

"Dengan pulang malam begini, apa tidak memantik pandangan buruk mereka tentang kamu? Kamu seorang gadis, berhijab lebar, tapi pulang malam."

"Papa kenapa, sih? Kok jadi kayak lebay banget? Khalis itu cuma telat pulang sedikit dan pulangnya juga nggak tengah malam atau pagi, Pa." Entah punya keberanian dari mana aku terus membalas semua kata-kata Papa.

"Tetap saja itu bakal menjadi aib buat kita, Khalis!"

Aku mengernyit, tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan Papa. Pulang kerja telat saja dibilang aib?

"Jadi, telat pulang itu aib, ya, Pa? Lalu, apakah Buya Yahya dan Fayadh juga tahu aib Papa?" tanyaku menantang.

Papa menatap nyalang. "Apa maksud kamu?"

Senyum sinis tercipta di sudut bibirku. "Apa mereka tahu kalau Papa adalah seorang pengkhianat? Apa mereka tahu kalau Papa punya istri dua dan sudah mengkhianati Mama?"

"Khalis!"

Satu tamparan mendarat di pipi kiriku. Aku nyaris oleng saking kuatnya tenaga Papa menamparku. Sakit sekali, tetapi tidak sebanding dengan sakitnya hati.

"Abang! Apa yang Abang lakukan?" teriak Mama. Rupanya Mama melihat kejadian itu. Beliau mendekat dan merangkulku. "Abang keterlaluan!"

"Anak kamu yang keterlaluan! Apa yang sudah kamu tanamkan di otaknya? Kamu sendiri yang meminta agar tidak memberitahunya, lalu kamu sendiri yang membongkar rahasiaku!" tuduh Papa.

"Bukan Mama yang salah, tapi Khalis sendiri yang melihat Papa dengan perempuan itu!" bantahku, sambil memegang pipi yang terasa perih. Lantas, kutinggalkan ruang tamu itu karena aku tak mau lagi memperpanjang masalah.

Saat sampai di kamar, masih terdengar Papa dan Mama saling berdebat. Hanya beberapa saat sebelum suasana menjadi hening.

Aku berdiri di depan cermin, meraba pipi yang tampak merah bekas tamparan Papa. Ini pertama kalinya dalam hidupku. Hebatnya, aku tidak menangis walau rasanya sangat sakit.

Semakin hari, Papa kian jauh berubah. Aku tidak akan menuduh kalau sikap Papa disebabkan istri keduanya, karena semua tergantung bagaimana Papa mampu mengelola hati sebagai pelaku taadud.

Di mataku, sebenarnya Papa belum mampu untuk berpoligami. Dia melakukan itu hanya demi syahwat semata. Mungkin sekarang, Papa sudah menyesal, tetapi terlambat dan tidak tahu harus berbuat apa. Sehingga amarahnya dilampiaskan padaku yang kebetulan ada kesempatan karena menurut Papa aku salah. Bahkan uang kuliah Samir saja tidak diberikan dengan berbagai alasan. Artinya, secara finansial Papa mulai kewalahan atau memang Papa sendiri tidak bisa membagi secara adil?

Aku menarik dan mengembus napas, menatap mata sendiri yang tampak merah di dalam cermin. Satu persatu, kulepas jarum yang menempel di jilbab segi empat lebarku. Menangis pun rasanya sudah tidak berguna. Jangankan orang lain, Papa sendiri pun tega menyakiti.

Hikayat Cinta SemusimWhere stories live. Discover now