Bagian 8

31 5 4
                                    

Iris kami saling beradu. Kuakui, dia terlihat tampan dengan kemeja biru tua yang melekat di tubuhnya.

"Eumm, maaf! Saya ... saya diminta manajer untuk mengecek ruang rapat. Bisakah ... Bapak tinggalkan ruangan ini sebentar?" pintaku sedikit gugup. Padahal, sebelum bertemu dengannya semalam, aku merasa biasa saja.

Lelaki yang tak lain adalah Fayadh itu, mengedar pandangan ke sekeliling ruangan. "Sepertinya semua sudah lengkap dan rapi. Jadi, tidak ada lagi yang perlu kamu cek. Sebaiknya kamu kembali saja ke ruanganmu."

"Tapi saya ditugaskan untuk mengecek ruangan ini dan itu belum saya lakukan. Artinya, jika saya kembali tanpa mengerjakan sendiri perintah atasan saya, sama saja dengan berbohong bukan?"

Fayadh tersenyum dan mengangguk-angguk. "Begitu, ya?"

"Maaf, jika Bapak tidak berkenan."

"Tidak apa-apa, saya paham." Fayadh berdiri dan melangkah menuju pintu keluar.

Aku bergeser selangkah saat dia hendak melewatiku. "Terima kasih, Pak," ucapku.

"Sama-sama. Eh, tunggu!" Fayadh berhenti tepat di ambang pintu.

"Ada apa, Pak?"

"Kita ini 'kan sudah dijodohkan orang tua kita. Artinya kita akan menikah sebentar lagi. Jadi, kalau tidak di depan orang-orang, kamu nggak usah panggil saya 'pak', panggil 'bang' saja. Karena saya merasa terlalu tua dipanggil begitu sama kamu. Oke?"

"Maaf, tidak bisa, Pak. Kalau di kantor, apa pun alasannya, saya akan tetap memanggil dengan sebutan formal. Pak Fayadh." Aku membantah dengan lugas. "Lagian, kita belum tentu bisa menikah walau kita sudah dijodohkan."

"Apa maksud kamu?" Dia bertanya tanpa menolehku.

"Karena saya tidak suka."

"Tidak suka dengan saya?"

"Ya."

"Kenapa tidak suka? Boleh tahu alasannya?"

"Maaf, Pak. Di sini bukan tempat untuk membicarakan persoalan pribadi. Jadi, kita sudahi saja pembicaraan mengenai kita." Aku mengingatkan.

Fayadh terdengar mengembus napas. "Kamu pikir, saya suka dijodohkan sama kamu?"

Aku terkesiap, lalu menoleh padanya demi mendengar pertanyaan dengan nada dingin itu. Dia pun memandangku sesaat dengan sebuah sunggingan senyum yang terlihat sinis. Setelahnya, dia pergi meninggalkanku sendiri, di ruangan beraroma lavender itu.

"Baguslah kalau begitu. Artinya, tidak akan ada pernikahan di antara kita," ucapku, seolah bicara pada diri sendiri.

"Kata siapa?"

Aku benar-benar terperanjat. Fayadh kembali muncul di pintu. Ternyata, dia mendengar ucapanku. Tajam sekali pendengarannya!

"Suka atau tidak, pernikahan kita akan tetap dilaksanakan. Jangan berpikir untuk menghindar dari kenyataan ... Bu Khalisa!"

Aku bergeming, sampai Fayadh pergi.

***

Satu per satu, para karyawan mulai meninggalkan mejanya dan pergi ke ruang rapat. Masih ada waktu lima menit sebelum dinyatakan terlambat hadir. Aku masih mencari satu berkas yang entah ke mana perginya. Padahal seingatku, map abu-abu itu kutaruh di laci meja.

Aku menghela dan mengembus napas, mencoba menenangkan diri. Map itu berisi strategi marketing yang telah kususun sejak beberapa hari belakangan. Semua aku kerjakan dengan sepenuh hati dengan mengerahkan segenap tenaga dan pikiran. Masa iya harus hilang pada saat diperlukan begini?

Hikayat Cinta SemusimDove le storie prendono vita. Scoprilo ora