Bagian 5

25 6 3
                                    

"Itu siapa, Has?" tanyaku, seraya memindai lelaki yang sedang berbincang dengan Pak Rizki, sang manajer.

Hasna yang sedang sibuk dengan tumpukan dokumen di meja, lantas mengangkat kepala. "Ooh, itu. Teman Pak Rizki kali. Aku juga baru kali ini lihat dia. Udah, ah! Kamu jangan ganggu aku dulu. Kerjaanku banyak banget."

Hasna kembali menekuri pekerjaannya.

"Khalis, tolong ke sini sebentar!"

Titah Pak Rizki membuatku gugup. Pasalnya, aku masih iseng memperhatikan gerak-gerik lelaki asing yang sedang bersama Pak Rizki. Duh, sepertinya aku kurang kerjaan, deh!

Cepat, aku melangkah mendekati Pak Rizki.

"Ada apa, Pak? Soal proposal, ya? Maaf, sebentar lagi selesai. Nanti saya antar ke ruangan Bapak."

Lelaki berusia 40 tahun itu tertawa kecil. "Kamu ini, saya belum bicara apa-apa udah nyerocos aja. Ini ... sebelumnya, kenalkan dulu ini Pak Fayadh. Beliau ini yang insyaa Allah akan menjadi mentor bisnis baru di perusahaan kita menggantikan Yoga."

Aku menoleh pada lelaki yang berdiri di samping Pak Rizki. Dia tersenyum dan memandangku sekilas, lalu menangkup tangan di depan dada. Aku pun melakukan hal yang sama.

Eh, tunggu! Fayadh? Namanya mirip sama putra Buya Yahya. Apakah dia orangnya? Tapi ....

"Khalis!"

Aku mengerjap saat tangan Pak Rizki bergerak-gerak di depan wajahku. Duh, malu-maluin! Bisa-bisanya aku melamun.

"Eh, iya, Pak?"

"Begini, setelah proposal tadi selesai, tolong kamu buatkan surat kontrak kerja sama buat Pak Fayadh. Rinciannya nanti saya berikan, ya?"

"Baik, Pak."

"Mmm, oh, iya ... sekalian, tolong kamu antar Pak Fayadh untuk melihat aula tempat beliau nanti mengisi acara. Biar beliau bisa membaca situasi di ruangan tersebut. Kamu saya lihat lagi agak santai dibanding yang lain. Jadi, kamu aja yang bantu saya, ya? Karena saya harus ketemu Pak Direktur sebentar lagi."

Aku tercengang, mengingat aula tersebut berada di ujung bangunan kantor dan sudah pasti sepi.

"Hanya saya dan ... beliau?"

Pak Rizki tertawa kecil, dia seperti paham keraguanku. "Kamu lupa? Di ruangan itu sedang ada sedikit perbaikan. Ada beberapa pekerja dan juga karyawan perempuan di sana yang tengah mengawasi."

Aku mengangguk-angguk. "Oh, iya. Saya lupa, Pak."

"Saya tahu siapa kamu. Tidak mungkin saya memintamu melakukan sesuatu yang bisa melanggar prinsip kamu," tegas Pak Rizki dan itu membuatku merasa sangat dihargai.

"Baik, Pak Rizki. Terima kasih. Kalau begitu ... ayo, Pak Fayadh! Silakan! Kita lewat ke sebelah sini!" ajakku, lalu berjalan setelah dia.

***

Menyusuri lorong gedung kantor menuju aula, aku mencoba untuk bersikap ramah dengan memberi tahu Fayadh fungsi setiap ruangan yang kami lewati. Aku masih mencoba untuk menerka apakah dia benar putra Buya Yahya atau bukan. Namun, jika dilihat dari wajah, tidak kecil kemungkinan kalau tebakanku benar.

Fayadh cukup tampan. Sangat sopan dan terlihat kalau dia orang yang alim dan sangat agamis. Sayangnya, Papa tidak pernah memberi tahu apa profesi dari lelaki yang dijodohkan denganku sehingga aku pun menepis dugaan kalau dia adalah putra Buya Yahya. Karena biasanya, putra seorang ustaz itu setidaknya berprofesi sebagai guru atau dosen.

"Pak Fayadh mengajar juga?" Pertanyaan itu spontan kulontarkan padanya.

"Iya. Saya mengajar di pesantren dan juga aliyah. Sebagai guru tahfiz."

Hikayat Cinta SemusimWhere stories live. Discover now