Bagian 2

31 9 2
                                    

Duduk di sisi pria asing yang tengah mengemudi, aku memilih diam sembari menikmati perjalanan. Anehnya, aku tidak merasa curiga atas kebaikannya. Bisa saja dia membawaku ke manapun dia mau untuk melakukan kejahatan, sebab aku sudah berada di dalam mobil miliknya. Namun, semua itu sirna saat apa yang dia lakukan benar-benar tulus.

"Dah sampai. Ini hotelnya, kan?" Imran bertanya saat mobilnya berhenti di depan gerbang sebuah hotel.

Aku memindai tempat tersebut. Lalu, dengan semringah menjawab, "Iya, betul. Ini hotel tempat saya menginap. Nah, itu teman-teman saya sedang berkumpul di depan hotel."

"Syukurlah. Lain kali, kamu kena hati-hati. Tak semua orang boleh berbuat baik dengan kamu dalam keadaan seperti tadi."

"Iya, terima kasih, Im ... eh, Bang. Saya bersyukur bisa bertemu orang sebaik Abang di sini." Aku tersenyum.

"Sama-sama. Dah sana, kamu jumpai kawan-kawan kamu. Mereka pastilah sangat cemaskan kamu."

"Tak nak jumpa kawan-kawan saya dulu ke?"

Imran memandang lekat, sedikit tampak tercengang saat aku bicara bahasa melayu. Lalu, ia tergelak. "Tak payalah, Khalis. Dah senja ni. Saya nak balik rumah dulu. Kalau berkenan, saya mau minta phone number kamu sahaja. Siapa tahu, kita bisa menjalin persahabatan dan ... bisa jumpa lagi."

Sejenak aku berpikir. Memang tidak ada salahnya juga memberikan nomor telepon. Ya, hanya nomor telepon saja, kan, bukan memberikan hati?

"Of course," sahutku pada akhirnya.

Imran tampak senang, lalu menyodorkan ponselnya padaku.

"Masih lama lagi duduk kat Malaysia, kan?"

Pertanyaan Imran mencipta kerutan di dahi. Kurang paham dengan kata duduk yang diucapkannya. "Duduk?"

"Eumm, maksud saya ... kamu masih lama di sini, kan?"

"Eummm, paling tiga hari lagi kami balik ke Indonesia."

"Ouwh, oke." Dia mengangguk-angguk.

"Sekali lagi ... terima kasih sudah menolong saya," ucapku sebelum turun dari mobil dan menyerahkan kembali ponsel milik Imran.

"Sama-sama. Bye, Khalis!"

"Assalaamu'alaykum," ucapku dengan maksud sedikit menyindir.

Dia tertawa kecil, menampakkan susunan giginya yang sangat rapi. "Wa'alaykumussalaam. Moga kita bisa jumpa lagi."

***

"Khaliiiiisssss, ya Allah, ya Rabb!"

"Kami sampai stres mencari kamu tau, nggak?"

"Kamu ke mana saja? Hampir kami lapor polisi."

Sambutan teman-teman membuat senyumku merekah.   Mereka memelukku. Sang ketua rombongan, yang tak lain adalah manajer tempatku bekerja, sempat mengomel walau akhirnya dia terlihat lega dengan kedatanganku. Aku pun menceritakan kenapa bisa sampai terpisah dari mereka, hingga ada orang baik yang mengantarku sampai ke hotel.

"Makanya, kalau di negara orang, lemotnya nggak usah dibawa. Bisa-bisanya ketinggalan," celetuk Hasna, yang sangat hafal dengan sifatku.

"Lagian, kalian kenapa tidak berusaha mencariku? Malah duluan ke hotel," protesku sambil bersungut-sungut.

"Kami udah nyari kamu berkeliling, bahkan udah dibantu sama pemandu wisata, tapi kamu kek hilang di telan bumi. Mana HP nggak aktif pula. Makanya kami putuskan kembali ke hotel dulu, berharap kamu ada di sini."

Aku menyengir. "HP-ku habis baterai."

"Dasar teledooooor, Khaliiiissssss!" Mereka bersorak.

"Lain kali kalau hilang, kami nggak mau tahu lagi!" celetuk salah satu temanku.

Hikayat Cinta SemusimWhere stories live. Discover now