Bagian 10

25 5 2
                                    

Sebelum masuk ke kamar, aku menyempatkan singgah ke kamar Mama. Hanya untuk memastikan kalau beliau benar-benar tidur. Sebab, tadi sehabis shalat Isya, Mama mengeluh sakit kepala. Setelah meminum obat, beliau pun memilih beristirahat di kamar.

Pelan, kubuka pintu kamar Mama. Aku berani melakukan itu karena tahu Papa sedang tidak di rumah. Biasanya, aku tidak akan berani masuk tanpa izin.

Aku terkesiap ketika melihat Mama duduk di kursi meja kerja Papa. Bahu Mama berguncang. Sepertinya Mama sedang menangis.

"Mama," gumamku pelan dan tak kusangka Mama mendengarnya. Beliau tampak terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu, di tempatku berdiri.

Gegas Mama menghapus air mata dan terlihat sekali memaksakan diri untuk tersenyum.

"Khalis? Ada apa, Nak?" Mama bangkit dan menghampiriku. Matanya terlihat sembab.

"Mama sedang apa? Kok, belum tidur?" tanyaku.

"Nggak apa-apa. Cuma lagi lihat-lihat album lama." Beliau menunjuk album foto yang masih terbuka di atas meja.

"Katanya Mama sakit kepala, kenapa nggak jadi tidur?"

"Tadi udah tidur sebentar. Sakit kepalanya udah hilang, Mama terbangun dan ... nggak bisa tidur lagi, deh!"

Kupindai raut wajah Mama. "Mama baik-baik saja?"

Terdiam, Mama memutar tubuh dan kembali ke tempat duduk semula. Aku mengikuti langkahnya dan berdiri di samping Mama.

Foto-foto pernikahan Mama dan Papa terpampang jelas di atas meja, menempel di album merah jambu itu. Ternyata, Mama tengah bernostalgia. Namun, sepertinya nostalgia malah membuat Mama menangis dan aku sangat paham apa penyebabnya.

Dulu, setahuku Papa sangat mencintai Mama dan seolah-olah hanya Mama satu-satunya perempuan dalam hidupnya. Namun, ternyata di tengah jalan, Papa berubah. Dia tega membagi cintanya untuk perempuan lain.

"Mama berhak marah, kok, Ma," ujarku. "Jangan pendam semua. Sesekali Mama harus lepaskan. Mama boleh protes. Mama boleh kecewa. Karena Mama manusia, bukan robot." Tegas kuucapkan kalimat-kalimat itu. Bukan untuk melukai hati Mama, tetapi agar Mama bisa mengambil sikap untuk dirinya sendiri.

Mama menangis lagi. Kubiarkan beliau menumpahkan semuanya. Aku yakin, setelah ini Mama akan merasa lebih lega. Karena menangis adalah salah satu cara untuk melepaskan energi negatif dalam diri.

Tiba-tiba Mama memeluk pinggangku dengan erat. Beliau menangis sejadi-jadinya tanpa sepatah kata pun. Mungkin, saking terlukanya, Mama tidak tahu harus mengungkapkan apa.

Aku jadi berpikir, mungkin ini bukan pertama kalinya Mama menangis diam-diam. Bisa saja Mama melakukannya setiap malam, sejak tahu cintanya dikhianati Papa. Apalagi jika membayangkan Papa sedang bersama istri keduanya itu. Perempuan mana yang tidak cemburu?

Aku memejam, terbayang rasa sakit yang dirasakan Mama.

"Ma, maafkan Khalis yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk Mama," batinku.

Kukecup puncak kepala Mama, wanita yang aku bangga telah lahir dari rahimnya. Wanita yang tak hanya cantik parasnya, tetapi juga cantik akhlak dan agamanya. Entah apa aku bisa mewarisi semua itu dari Mama.

Ketika menoleh ke arah pintu kamar, aku melihat Samir mematung di sana. Rautnya datar saja, tetapi aku yakin dia sedang menahan gejolak hatinya. Terlihat dari kedua tangannya yang mengepal erat.

"Semoga dengan pengalaman Mama ini, kelak kamu bisa menjadi laki-laki yang sangat menghargai perasaan perempuan, Sam. Lelaki yang tidak menduakan wanitanya dalam keadaan apa pun." Aku membatin penuh harap.

***

Pagi kembali datang. Aku dan Mama sudah duduk di ruang makan. Samir belum muncul. Kata Mama, dia belum kembali dari masjid sejak shalat Subuh tadi.

"Gimana soal Imran? Kamu sudah dapat kabar dari dia?" tanya Mama, sembari kami menunggu Samir datang.

Tatapan Mama membuatku memutuskan untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pelan dan mengalir begitu saja, kuuraikan semua pada Mama tentang Imran. Dengan sabar, Umi mendengarkan tanpa menyela sedikit pun hingga aku selesai.

"Kamu patah hati?" Umi menatapku lekat.

"Jujur ... iya, Mi. Khalis merasa patah. Karena harapan Khalis padanya begitu besar." Lagi-lagi air mataku mengalir. Segera kuhapus agar tidak semakin menjadi.

Mama mengulurkan tangannya dan menggenggam jemariku. "Jangan pernah menggantungkan harapan pada manusia, karena kita pasti akan kecewa jika harapan itu tidak sesuai dengan keinginan kita. Mungkin saat kamu jatuh cinta pada Imran, kamu lupa melibatkan Allah. Kamu juga lupa bahwa cinta yang kamu rasakan itu haruslah sesuai dengan ketentuan Allah. Syariat telah mengatur semuanya dengan sangat indah. Bahkan untuk soal jatuh cinta. Dan jika kita jatuh cinta sebelum menikah, maka kita harus mampu mengelolanya agar tidak terjerumus ke dalam jurang maksiat."

"Tapi, Khalis tidak melakukan maksiat apa-apa sama Imran, Ma," tepisku.

"Oh, ya? Kamu yakin?"

Aku mengangguk, ragu. "Waktu di Malaysia, kami cuma ngobrol berdua sembari menunggu teman-teman turun dari menara. Kami ngobrolnya juga di tempat umum, Ma. Banyak orang lain juga."

"Oh, begitu? Syukurlah kalau memang demikian."

"Lalu, Khalis harus apa, Ma?"

"Lho, masih tanya Mama? Bukankah Imran sudah menikah? Apa lagi yang harus kamu lakukan selain move on? Ada Fayadh yang lebih baik dan jelas di depan mata. Tidak ada salahnya kamu mencoba membuka hati untuk dia. Bukankah ini seperti petunjuk dari Allah mengenai jodohmu?"

"Tapi, Ma, kata Fayadh ...."

"Maaf, aku baru pulang, Ma, Kak. Aku ketiduran di masjid. Untung ada yang bangunin."

Kedatangan Samir membuat obrolanku dan Mama terputus. Terpaksa mengakhiri, karena aku tak mau Samir mendengar ceritaku dengan Mama.

***

Setiap membuka media sosial, berita pernikahan Imran dan Farhana selalu muncul walau sudah aku skip. Hal itu membuat luka di hati terasa perih kembali. Aku pun tidak memiliki keinginan untuk menghubungi Imran dan meminta penjelasan. Toh dengan pernikahannya, sudah menjelaskan segalanya.

Aku hanya butuh waktu untuk melupakan. Salah satu caraku adalah dengan menyibukkan diri. Perkerjaan yang seharusnya dilakukan Hasna pun, aku ambil alih. Bahkan tak jarang aku membantu Rama mengantar minuman atau mengepel. Tentu saja hal yang kulakukan membuat mereka tercengang. Namun, aku tidak peduli.

***

Ponselku berdering, tatkala aku sedang membereskan meja dan bersiap untuk pulang. Kulirik sebentar benda pipih yang masih tergeletak di meja dan aku tertegun. Ada nama Imran tertera di sana.

Aku menelan ludah, ragu untuk menerima panggilan tersebut. Lagian, mau apa dia meneleponku?

Ponselku terus berbunyi, seakan si pemanggil tak ingin menyerah. Hasna pun sampai mendekat ke mejaku. Mungkin dia merasa terganggu dengan bunyinya.

"Angkat saja dan selesaikan semuanya, Khalis!" titahnya, setelah mengintip layar ponselku yang masih menyala.

"Aku nggak sanggup, Has."

"Selesaikan sekarang, atau tidak sama sekali! Kamu bisa melangkah dengan bebas setelah ini. Percaya sama aku!"

Aku bergeming menatap Hasna.

"Jangan kebanyakan mikir! Aku duluan."

Hasna beranjak setelah mengucap salam. Hanya tinggal aku dan beberapa karyawan lain di ruangan itu.

Dering ponselku telah berhenti. Berganti dengan nada pesan masuk di aplikasi WA.

[Khalis, kenapa kamu tidak jawab panggilan saya? Kamu busy sangat ke? Please! Tolong jawab. Sebab saya mesti bagi tau kamu sesuatu]

***





Hikayat Cinta SemusimWhere stories live. Discover now