Bagian 11

20 5 5
                                    

"Khalis! Kamu tahu tak? Tiga hari lagi, saya akan bertolak ke negara awak. Ya, Allah, Khalis ... finnaly! Saya boleh jumpa dengan orang tua kamu dan tunaikan janji saya."

Tanpa mengucap salam, suara antusias Imran langsung mampir memenuhi rongga telinga.

"Kamu nak saya bawakan apa? Kamu cakap saja, pasti saya belikan."

Aku masih bergeming.

"Khalis? Kamu dengar cakap saya, kan?"

"Ya, saya dengar."

"Kenapa kamu diam saja? Kamu tak happy ke dengan kabar yang saya bawa?"

"Apa alasan saya harus bahagia, Bang?" tanyaku datar.

Tak terdengar sahutan dari seberang sana.

"Saya sudah tak ada alasan apa pun untuk bahagia mendengar kabar dari Abang."

"Khalis ... Khalis, apa pasal awak cakap macam tu? Ape dah jadi ni?"

Aku tersenyum masam. Masih saja Imran bertanya apa yang sudah terjadi. Sepertinya dia sedang mengajakku bermain drama.

"Apa yang sudah terjadi? Abang yakin tidak tahu apa yang sudah terjadi?"

"Khalis, cakap betul-betulah! Saya tak paham maksud kamu." Imran terdengar panik.

"Khalis! Belum pulang? Udah sore lho! Tinggal kamu sendiri di sini."

Aku terkejut saat Pak Rizki menegur dan langsung mengedar pandangan ke sekeliling ruangan. Benar, tinggal aku saja yang belum pulang.

"I-iya, Pak. Ini sudah mau pulang." Karena agak gugup, apalagi baru sadar jika hanya ada aku dan Pak Rizki di ruangan itu, aku mematikan sambungan telepon dan memasukannya ke dalam tas.

"Saya nggak tahu kamu masih di dalam kalau tidak melihat motor kamu di parkiran. Saya pikir ada apa-apa sampai saya rela balik ke sini," omel Pak Rizki.

Aku menyengir. "Maaf, Pak, sudah merepotkan."

"Ya, sudah. Sana pulang! Saya mau ada yang diambil dulu ke dalam," usirnya. Kemudian Pak Rizki melangkah ke ruangannya.

Katanya rela balik ke sini karena khawatir sama aku, eh nggak tahunya memang kebetulan karena ada yang mau dia ambil. Huh, ada-ada saja manajerku itu!

Aku pun segera beranjak pulang sebelum diberi ultimatun untuk kedua kali dan melupakan pembicaraan dengan Imran tadi. Rasanya ingin segera sampai di rumah, mandi dan menikmati camilan sore bersama Mama. Soalnya, pagi tadi Mama janji mau membuatkan kue cokelat favoritku.

***

Senyumku surut saat melihat mobil Papa di garasi. Entah mengapa, sejak tahu kalau beliau punya istri kedua, aku jadi malas bertemu dengannya. Motor Samir pun tidak terlihat, apa dia juga berusaha menghindari Papa? Seharusnya jam segini dia sudah di rumah. Karena setahuku, Samir tidak suka keluyuran. Dia lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca buku atau mendengarkan tausiyah melalui youtube.

Kuurungkan niat untuk turun dari motor dan menelepon Samir guna menanyakan keberadaannya. Ternyata dia sedang berada di tempat kos teman kuliahnya, sebab ada mata kuliah yang sedang mereka diskusikan. Samir bilang akan pulang selepas isya nanti.

Setelah berpikir sesaat, aku kembali menyalakan motor dan meninggalkan halaman rumah. Rasanya enggan ketemu Papa hari ini. Biarlah niat mandi dan menikmati kue cokelat ditunda dulu. Aku mau menenangkan pikiran sejenak di kafe yang baru buka. Tadi, aku melihat iklannya di media sosial. Sepertinya tempat itu menarik dan harganya juga mumpung lagi banyak diskon.

Hikayat Cinta SemusimWhere stories live. Discover now