d'voice - 12

58 9 4
                                    

Kukira aku hanya sedang beruntung. Ternyata aku hanya tidak terbiasa, makanya kaget dengan cinta ugal-ugalan ini.

🍂

Aku menutup kedua telingaku untuk menyelamatkannya dari Nabila yang membalas salamku dengan jeritan. Ku delikkan mata ketika memasuki D'florist, tapi aku tidak berniat marah karena semerbak wangi dari bunga-bunga disini lebih cepat memicu endorfin di dalam tubuhku. Jujur saja aku merindukan sekali D'florist, bunga-bunganya, wanginya, pembelinya dan perasaan hebat ketika melayani mereka.

"Orang kalo udah nikah suka lupa gitu yah punya toko, lupa punya sahabat yang harus jaga toko sendirian? Atau bahkan sampai lupa segalanya. Mentang-mentang udah nikah, kerjaannya mesraan terus?"

Dan aku juga sangat merindukan sahabatku, Nabila yang sudah seminggu ini kubiarkan menjaga D'florist sendirian. "Mau ngomel aja, atau mau peluk?"

Walaupun kudengar Nabila mendengus dia tetap menghampiri dan memenuhiku dengan pelukan eratnya.

"Kangen banget, Ji. Berasa gak liat lo bertahun-tahun"

"Lebay lo."

"Bukannya gue emang gitu?"

Aku tertawa dan membalas pelukan Nabila. "Gue juga kangen, Bil"

Aku akhirnya bisa bertemu Nabila, tentu dengan usaha yang cukup banyak karena ternyata setelah apa yang terjadi di Rumah, setelah Bi Wirna terluka dan malah membuatku sedikit terganggu, Ibrahim sungguh menepati janjinya. Kukira dia hanya akan mengeluarkan karpet yang selalu menyandungku di kamar, tapi dia bahkan meminta Bibi mengganti semua perabot yang berupa kaca menjadi alat bahan plastik.

Itu berlebihan, terlebih karena sebenarnya keadaanku kemarin hanya karena gangguang kecemasan yang ku idap, aku tidak selalu begitu. Tapi Ibrahim kekeh dan bilang tidak mau hal itu terulang lagi.

Hari ini aku meminta izinnya untuk kembali bekerja, butuh waktu untuk meyakinkannya bahwa aku jauh lebih aman di D'florist yang sudah bertahun-tahun ku jaga dari pada di rumah yang malah membuatku bosan kalau ditinggal berdua dengan Bibi. Barulah dia mengizinkanku, mengantarku dan bilang akan menjemputku lagi.

"Jadi gimana rasanya, Ji? Officially jadi Nyonya Byakta?"

Kuletakkan totebag-ku diatas meja kasir sambil menggeleng, lalu berkacak pinggang menghadap pada Nabila kembali. "Gak bisa gue jelasin, Bil?"

"Kenapa?"

"Gak tau, rasanya tuh campur aduk."

"Sorry, Ji. Campur aduk yang ada di otak gue beda arti"

Aku harusnya tahu isi otak Nabila, dia adalah satu-satunya orang yang selalu berhasil membuatku geleng-geleng kepala. "Cuci otak deh, lo!"

"Ih serius, Ji. Jadi Ibrahim nih tipe yang gimana? Nyosor tiba-tiba atau izin dulu?"

Kulipat tangan di bawah dada, menatap jengah Nabila tanpa celah, bahkan aku yakin sekali sekarang gadis itu mengulum bibirnya menggodaku. "Lo tau itu hal yang gak bakal gue cerita biarpun lo ngereog disini"

"Tau banget!"

"Terus kenapa masih ditanyain?"

"Nge-tes aja, kali aja lo kecoplosan spil dikit kan. Hahaha"

Aku sudah akan mengambil kembali tas yang tadi kuletakkan hanya untuk melemparnya pada Nabila tapi dia lebih cepat menahan tanganku "Becanda, Ji. Elah."

Pegangan Nabila di tanganku bertahan, "Tapi beneran, gue mau tau gimana perasaan lo setelah nikah? Suami lo, dia baik kan?"

Aku menghelah napas, menggelengkan kepala lemah selagi berusa mencari kalimat yang kiranya bisa menjelaskan sosok Ibrahim ini.

d'voiceWhere stories live. Discover now