d'voice - 8

69 7 2
                                    

Aku hampir lupa caranya menjadi berani, aku takut akan banyak hal kecil apalagi sesuatu yang besar. Tapi karena kamu, aku siap belajar berani kembali.

 Tapi karena kamu, aku siap belajar berani kembali

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


🍂

Aku diam selagi menyimak suara-suara yang ada di sekitarku. Sesekali aku menimbrung, ikut tertawa dan menjelaskan banyak hal selama beberapa menit ini. Bersama kedua orang tuaku dan mertuaku, dan seseorang yang ada di pangkuanku, Sulaiman, adiknya Ibrahim, ipar kecilku. Aku dan Sulaiman diperkenalkan kemarin di hari pernikahan, anak berusia 10 tahun itu langsung mengingatkanku bahwa ketika kecelakaan menimpaku dia juga sedang diperjuangkan lahir kedunia, membuatku menyadari bahwa usianya akan berjalan bersamaan dengan keadaanku. Dia menggemaskan, setelah memberinya segelas susu tadi pagi, dia akhirnya menempel padaku dan tidak mau jauh-jauh.

Telah sah menjadi istri selama kurang-lebih 24 jam, tidak lantas membuatku leluasa untuk duduk di sebelah suamiku. Canggung hingga salah tingkah tatkala kudengar suara beratnya, untunglah ada Sulaiman yang bisa kujadikan pengalihan ketika jantungku berdegup tidak karuan hanya karena tanganku yang berpegang pada sofa tidak sengaja mengenai paha Ibrahim.

"Ekhem!"

Aku dan semua orang pastinya menoleh pada Ibrahim yang menimbulkan suara.

"Saya, ada sesuatu hal yang ingin di sampaikan"

"Oh ya? Silahkan nak!" Papa yang paling cepat menimpali ucapan Ibrahim.

Aku menunggu dengan perasaan antara ragu tapi juga sudah tahu apa yang mungkin akan Ibrahim katakan.

"Sebelumnya saya mau memberitahu bahwa InshaAllah kantor cabang perusahaan Ayah yang di Jakarta, yang bekerja sama dengan usaha properti milik Papa, karena sudah diamanahkan kepada Saya, akan mulai saya handle pekan depan."

"Oh bagus nak, lebih cepat lebih baik. Ibrahim mau mulai dari mana dulu kira-kira? Siapa tahu Papa atau Ayah bisa bantu?"

Ada jeda sebelum Ibrahim kembali berdehem kecil kemudian melanjutkan bicaranya.

"Saya ingin memulainya dengan memiliki Rumah, tempat tinggal bersama istri saya selama di Jakarta."

Aku tahu kenapa semua orang diam, mereka mungkin masih belum mengerti maksud Ibrahim.

"Kamu ingin tinggal berdua dengan istrimu?" Atau sebenarnya Mama memang sangat peka.

"Iya, Mah. Saya sudah ada Rumah yang InshaAllah layak untuk kami huni, sudah saya punya sejak masih kuliah. Tadinya akan saya investasikan, tapi qadarullah karena saya menikah dan akan tinggal di Jakarta, ternyata akan saya pakai sendiri"

Aku tahu Mama bergeming, aku tahu apa yang tiba-tiba memenuhi kepalanya sehingga dia kehilangan kata-kata dalam sekejap.

"Kamu mau tinggal berdua, punya Rumah sendiri?" Kali ini Bunda yang bertanya.

d'voiceWhere stories live. Discover now