❀ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu

Start from the beginning
                                    

Lantas, harus berapa kali lagi Janu harus menyaksikan tiap-tiap tetes air mata yang meluruh deras di wajah gadis itu?

Harus berapa lama lagi Janu menyaksikan lengkungan palsu yang terbentuk di bibir gadis itu?

Di titik inilah, Janu menyadari bahwa hal tersebut sejatinya sungguh berkaitan erat dengan alasan di balik seluruh tindakannya yang ia lakukan hanya untuk Xenna.

Semuanya bukan semata-mata karena balas budi, melainkan murni keinginan besar dalam lubuk hati. Keinginan untuk mengusir kesedihan yang betah bersemayam dalam diri Xenna; keinginan untuk menghadirkan kembali senyum indah Xenna yang mampu ia lepaskan tanpa sedikit pun beban; keinginan membawa kebahagiaan nyata untuk menebus seluruh luka yang Xenna dapatkan; dan juga ... satu keinginan tak terduga yang begitu saja timbul dan melambai-lambai kuat seolah tak ingin dilewatkan. Namun, Janu tidak yakin, betul-betul tidak yakin akan adanya sebuah keinginan tersembunyi yang tertimbun dalam hatinya itu.

Sial. Sebenarnya, apa yang sudah bocah itu lakukan kepadanya?

Janu tahu dirinya benar-benar dalam keadaan sadar sekarang, tetapi keinginan untuk memiliki raga dan hati Xenna seutuhnya betul-betul terdengar gila baginya. Sebab bagaimana mungkin Janu menyimpan perasaan romantis kepada seorang gadis yang nyaris seusia dengan adik perempuannya sendiri?

Pemikirian tersebut terus saja berputar-putar dalam benak Janu, seiring dengan pandangannya yang tak pernah lepas sedetik pun dari gadis yang bersangkutan yang duduk tepat di seberangnya saat ini.

Beberapa saat sebelumnya, Xenna yang telah puas menangis--masih dengan air mata yang bercucuran di pipi--sekonyong-konyong mengadu, "Mas, aku laper ... aku pengen makan dimsum." Dan, bagaimana mungkin Janu sanggup menolak jika Xenna langsung menyerang titik kelemahannya seperti itu? Lantas, tanpa banyak protes, Janu menuruti keinginan Xenna begitu saja meski ia harus memutar arah menuju kawasan Dipatiukur oleh karena permintaan tambahan sang gadis, "Yang di DU aja ya, Mas? Aku tau satu tempat, walaupun cuma warung tenda, tapi dimsum-nya terkenal enak, kok."

Lantas, di sinilah mereka sekarang. Di salah satu warung tenda yang khusus menjajakan dimsum sebagai menu utama, berlokasi tak jauh dari Universitas Padjajaran di bilangan Dipatiukur. Dengan memilih meja yang berada di tengah-tengah membuat keduanya seolah dikerumuni oleh para pengunjung lain, yang kian ramai berdatangan seiring gelap malam mulai menjemput. Dua porsi dimsum dalam klakat bambu terpisah--yang kini sudah kosong--tersaji di hadapan Janu bersama segelas teh manis hangat. Sementara Xenna ... entahlah, entah ia memang betul-betul lapar atau bagaimana, tetapi kini gadis itu tengah menikmati porsi keempat dari lima porsi dimsum beraneka jenis yang ia pesan.

Janu yang memang sudah selesai makan pun hanya dapat memandangi Xenna keheranan. Namun, oleh karena isi pikirannya yang tengah berkecamuk akibat gadis di hadapannya itu, tatapan Janu tentu memiliki arti yang lain. Seraya menyesap teh dengan perlahan, sepasang matanya yang terhalangi oleh lensa kaca tertuju lekat pada Xenna, memerhatikannya secara saksama dimulai dari bagaimana ia mengambil dimsum dengan sumpit, mencocolnya ke saus, lalu dimasukannya ke mulut dalam satu suapan, dan terakhir dikunyahnya sembari mengangguk-angguk pelan sementara senyum kecilnya tersungging.

Dengkusan geli Janu loloskan bersamaan dengan terbitnya lengkungan tipis di bibir. Tampaknya, bagi Xenna makanan adalah solusi terbaik dari segala masalah yang tengah ia hadapi. Perasaan sedihnya seketika lenyap begitu saja sejak pertama kali olahan dari perpaduan udang dan ayam itu menyentuh lidahnya. Mengingat Xenna pernah pula memesan makanan dalam porsi banyak, Janu pun tidak jadi banyak berkomentar dan memilih untuk maklum. Sebab jika memang itu salah satu cara sang gadis agar dapat merasa lebih baik, maka Janu tak mungkin melarangnya begitu saja.

Sepasang mata Janu masih terus mengikuti pergerakan Xenna yang telah memasukkan suapan selanjutnya. Senyum tipisnya masih bertahan, lalu tertarik sedikit lebih lebar kala ia mendapati bagaimana kedua pipi gadis itu menggembung sebab penuh dengan makanan dalam kunyahan. Seperti hamster, pikir Janu. Dan, lihat pula sisa mayones yang menempel di bibirnya itu. Apakah ia sama sekali tidak menyadarinya?

Memories in the MakingWhere stories live. Discover now