Momen Jungkir Balik

51 6 0
                                    

Sebagai manusia, pengetahuan kita akan sesuatu tak jarang menorehkan berbagai pilihan rumit.

Entah wawasan tersebut layak untuk digenggam lalu disimpan sebagai prinsip, atau malah justru mesti meniupkannya ke udara agar tak lagi memertahankan sesuatu yang tak layak untuk dipeluk sebegitu erat.

Hingga pada suatu waktu, terbitlah kesimpulan yang kemudian menguap, lalu menjadi kepulan berwarna abu atas pengetahuan yang dahulu dianggap salah maupun sebaliknya di mata kita.

Sudut pandang yang awalnya fokus pada satu titik, seiring berjalannya waktu serta usia, perlahan kian melebar hingga di tepi yang tak disangka akan menyapu bahkan sampai puing-puing.

Sayangnya, keadaan ini bak dua mata pisau pada sebilah pedang perang.

Ada sepucuk kebahagiaan tersendiri, saat memeroleh pengetahuan baru yang dahulu dikesankan tepat rupanya sungguh berbanding terbalik. Di masa kini, kita sudah bisa memahami perspektif itu.

Meski kadangkala terbilang terlambat, tetapi setidaknya, pembaruan atas wawasan yang terserap di kepala akhirnya mengalami siklus yang layak untuk diapresiasi.

Akan tetapi, di satu sisi, sebagaimana manusia biasa, kita tidak se-luar biasa itu untuk mengetahui dengan pasti apakah pilihan-pilihan atas pengetahuan baru tersebut memang patut dijadikan pegangan.

Belum lagi, apabila betapa sesuai dengan dunia nyata yang sedang dijalani. Khawatir terdapat bias transparan, lalu sulit terdeteksi.

Kepelikan semakin menggelinjang tentang jangan lupa pula, bahwa hal paling krusial di usia dewasa ialah, begitu minim gerak kita untuk memegang teguh idealisme jika sudah berhadapan dengan realita, terutama manusia dan cakupannya. Lingkup masyarakat, contoh umumnya.

Kebimbangan semakin kompleks, hingga di tahap bertanya-tanya, tentang apakah kumpulan pasak itu patut ditegakkan pada tenda tempat kita berteduh? Pada kepribadian kita yang seringkali penuh paradoks yang bahkan kerap tak utuh?

Rupa-rupanya, kita pun sedang terseok juga. Tertatih-tatih secara internal. Meski, di permukaan tak nampak betapa berusaha sekuat tenaga untuk menerjang topan.

Perputaran badai kian menjadi kala tampil di layar kaca, layar ponsel, layar apapun yang mengerucutkan rentetan peristiwa sebongkah entitas hingga berbuah berita, terkait begitu banyak momen jungkir balik yang dialami oleh orang-orang yang dahulu kita anggap sebagai contoh penggenggam pedoman yang sama dengan kita.

Begitu banyak, hingga kita dilanda bingung hendak bertahan atau menenggelamkan diri juga pada kubangan yang sama dengan mereka.

Maka, inilah alasan mengapa anonimitas menjadi pilihan diri sejak dini jika berkaitan dengan ranah dunia maya. Memilih nama pena. Memilih untuk tetap tersembunyi saja.

Dan, di sinilah kita: Berdiri. Sendiri. Menggenggam batu yang dikhawatirkan mengering lalu rapuh menjadi pasir akibat terpapar api yang belum kunjung berhenti.

Dan, di sinilah kita: Berjuang. Sendiri. Menggenggam bara yang dikhawatirkan padam lalu mati akibat tertiup perubahan cuaca yang semakin tak terprediksi.

Kompleksitas yang paling kacau ialah, tak ada komentar tercuat karena kita bisa mengerti mengapa kumpulan entitas tersebut melakukan hal demikian.

Kita paham alasan mengapa momen jungkir balik itu terjadi. Karena apapun yang berputar mengelilingi kita baik yang telah lalu, kini, bahkan nanti-nanti, sebagai manusia memang tak ada yang tahu pasti. Takdir itu sungguh misteri.

Ibarat neraca, kita diharapkan untuk selalu menimbang dengan hati-hati. Namun, sebagai manusia yang memiliki pilihan untuk memeluk ideologi sebagai landasan hidup, kita memiliki dua neraca.

Pertama, sudut pandang dunia; mesti seimbang dalam menentukan porsi, baik personal maupun lainnya.

Kedua, sudut pandang ideologi; harus menitikberatkan pada apapun yang berkaitan dengan Dzat yang menjadikan kita memilih ideologi ini.

Yang patut disyukuri adalah, poin ideologi dan pedoman ini saling beriringan dengan realita kehidupan serta perubahan yang terjadi di dalamnya.

Ada begitu banyak korelasi meski tanpa penjabaran lantaran memang begitulah adanya, lantaran itulah alasan kita memilih pedoman hidup tersebut.

Maka, di tengah gempuran kebimbangan dan paradoks tak berkesudahan, terutama di usia dewasa, dengan merebaknya momen jungkir balik serta digitalisasi kehidupan, timbullah konklusi pernyataan diri:

Dzat yang kita pilih untuk disembah sesuai dengan apa yang tertulis pada pedoman yang terisi di ideologi, sungguh tidak salah sama sekali.

Kehidupan yang penuh gejolak tak terperinci, tak terprediksi, hingga kadangkala sulit terurai, tidak serta merta dijadikan kambing hitam untuk melontarkan momen jungkir balik sebagai ajang kekecewaan pada Dzat yang kita pilih untuk disembah.

Mau bagaimanapun kehidupan nantinya, Dzat yang kita pilih untuk disembah sama sekali tidak rugi jika kita membalikkan badan lalu melipir hingga menjauh sebegitunya.

Karena justru, kehampaan dan keabstrakan pikiran pun perasaan kitalah yang kian hari kian kacau, seiring melebarnya jarak antara kita dengan Dzat yang kita pilih untuk disembah.

Memang begitulah konsekuensi jika memilih untuk menaati suatu aturan.

Memang begitulah kedisiplinan jika memilih untuk memperoleh benefit besar di masa depan.

Sebagai manusia yang diwajibkan untuk fokus pada Dzat yang dipilih untuk disembah, sudah selayaknya tahu diri akan kewajiban yang mesti dipatuhi.

Sadar diri tanpa tapi.



(Pengingat paling utama dan sangat penting bagi diri saya sendiri.)

Panggil Aku IntroverWhere stories live. Discover now