Yang Bisa Dihasilkan dari Berkomunikasi

338 50 20
                                    

Hari ini sebenarnya saya tidak ingin menulis-terlebih mengupload-apapun. Namun, kejadian sore di hari Selasa kemarin benar-benar menjadi momen yang mungkin tak akan pernah terlupa. Mengabadikannya ke dalam tulisan dirasa butuh, dan membagikannya sebagai pengingat seakan perlu. Tentunya, untuk diri sendiri terutama.

Tiap menjelang senja, tidak seperti area lain, di jalan yang sering dilewati sangat jarang saya menghadapi kemacetan. Mungkin karena pulang tidak sampai mentari nyaris tenggelam, maka cukup jarang hambatan tersebut dikenyam. Tetapi, sore itu jelas pengecualian dari hari-hari sebelumnya. Sekitar setengah jam lebih saya harus menghadapi situasi tersebut.

Di dalam angkutan umum, saya tidak berniat mencari cara mengatasi kebosanan. Posisi duduk searah dengan pintu keluar-masuk membuat pandangan saya tertuju lurus ke luar, memerhatikan orang-orang dengan berbagai mimik wajah, dan ini sudah lebih dari cukup untuk menghapus kejenuhan.

Sebenarnya, otak saya sudah gegabah lantaran waktu yang mulai berlari mendekati azan Maghrib. Tidak bisa tenang, pikiran sudah melanglang buana merancang hal-hal yang prioritas dikerjakan saat tiba. Benar-benar mengganggu pikiran.

Tetapi, di detik itu, orang-orang di sekitar, termasuk saya dan siapa saja di dalam angkutan umum yang saya tumpangi, penarik becak, pengendara motor dan mobil, angkutan umum lain, dibuat gempar lantaran kemacetan yang bisa dibilang tak biasa. Cukup membahayakan. Lebih dari sekadar mengacaukan pikiran.

Jika macet, mungkin wajar. Masih bisa menunggu walau kesabaran sangat diuji di waktu-waktu seperti itu. Namun, untuk kali ini, kami seakan dihadapi oleh nuansa penentuan hidup dan mati, dan hal tersebut terjadi tepat di depan mata.

Lalu, apa itu?

Yap, dua angkutan umum-yang saya tumpangi dan satu lagi tepat di belakang kami-berhenti nyaris tepat berada di tengah rel kereta api! Luar biasanya lagi, bunyi sirine sudah menggema ke segala sisi. Terutama, menembus ke jantung ini.

Supir berteriak cukup keras agar pengguna jalan di depan bisa bergerak-setidaknya beberapa meter agar kami di posisi aman. Di tengah kepanikan tak terkendali, saya bungkam menenangkan diri. Pandangan saya tertuju ke depan, memerhatikan mimik dan gestur yang secara natural mereka tampakkan.

Penarik becak dari kejauhan terlihat berusaha sekali mencari celah maju. Pengendara motor susah payah menyalip, bahkan mengambil jalur pejalan kaki. Beberapa pasang mata tertuju kepada kami. Tidak ada yang tidak panik. Meski akhirnya perlahan maju dan lolos dari palang, masalah belum selesai. Jangan lupa bahwa ada satu angkutan umum di belakang kami yang mesti diselamatkan lagi.

Suasana semakin mencekam. Suara klakson menggelegar bergantian. Terserah mau menyebut aneh atau semacamnya, tapi entah mengapa, saat di situasi tersebut, dari balik masker yang menutupi wajah, pada peristiwa yang terus terang belum meredakan debar-debar jantung, senyum saya malah tersungging tak tahu tempat.

Mungkin karena sudah dikatakan selamat, maka dari itu sedikit bisa lebih tenang. Kalau belum, bisa jadi saya mengambil inisiatif untuk melangkahkan kaki keluar dari angkutan umum tanpa aba-aba, tak lupa dengan suara terpancar tanpa ragu mengajak yang lain mengikuti kelakuan abnormal tersebut. Tetapi, alhamdulillah-nya, hal itu tidak terjadi.

Lalu, memangnya, untuk apa saya tersenyum?

Bagaimana tidak? Di tengah kehimpitan tak terduga, dibanding hanya memikirkan diri sendiri yang butuh diselamatkan juga, kepedulian untuk menyelamatkan orang lain nyatanya masih menjadi prioritas masyarakat di perkotaan. Gestur penuh semangat, saling bahu-membahu, bahkan rela mengeluarkan tenaga untuk berteriak satu sama lain demi kemajuan bersama-dalam kasus ini, 'memajukan' angkutan umum kami dan yang lain agar semakin 'di depan'-, membuat senyum ini tak dapat ditahan.

Panggil Aku IntroverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang